Unen-unen

Unen-unen

1.    Ana Dina Ana Upa 


Arti yang tersurat
Bahasa Indonesia : Ada hari ada nasi
Ana : ada
Dina : hari
Upa : serpihan nasi

Arti tersirat
 

Setiap hari akan selalu ada rejeki. Unen-unen ini mengajak bahwa seseorang tidak erlu khawatir dengan rejeki untuk diri sendiri atau keluarganya. Setiap orang ditakdirkan dengan rejeki masing-masing. Yang harus dilakukan oleh seseorang adalah berusaha mencari rejeki (upa).

Nilai Yang Terkandung
 

Unen-unen ini mengandung ajaran atau nasihat bahwa orang senantiasa optimis untuk menghadapi hari esok. Suatu keyakinan yang harus dipupuk adalah Tuhan bersifat Maha Pemurah, maka dari itu sebagai umat yang percaya akan Tuhan hendaknya berusaha dan selalu percaya bahwa rejeki akan ada selagi umat mau berusaha.

Falsafah
 

Ada suatu falsafah dari orang jawa bahwa asalkan mau berusaha, pastilah ditunjukkan jalan oleh-Nya dalam mendapatkan rejeki. Dalam kepercayaan orang Jawa, sikap pemalas sangatlah kurang terpuji. Dnegan sikap pemalas berarti menjauhkan rejeki bagi orang itu sendiri.

Pengaruhnya terhadap Kehidupan Masyarakat Modern
Ungkapan ini masih digunakan dalam kehidupan masyarakat modern dan menumbuhkan sikap yang optimis. “asal mau berusaha pasti akan mendapatkan rejeki”.
Bagi sekelompok orang yang masih melestarikan nilai budaya peninggalan nenek moyang. Ungkapan ini memunyai pengaruh yang besar untuk membesarkan hati dan membuat semangat seseorang dalam berusaha.


2.    Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe
 

Arti yang tersurat
 

Sepi di dalam pamrih pengharapan, ramai dalam kerja
Sepi : sepi tidak ada apa-apa atau sesuatu
Ing : di dalam
Pamrih : pamrih, pengharapan
Rame : ramai, hingar bingar
Gawe : kerja, pekerjaan

Arti yang tersirat
 

Setiap orang yang mau menolong orang lain dengan ikhlas tanpa mengharapkan apapun baik berupa pujian ataupun imbalan secara materi merupakan suatu prinsip atau sikap hidup orang Jawa yang sebenarnya. Jadi apabila suatu orang menolong dengan maksud memperoleh Imbalan, maka bisa dikatakan ia bersikap tercela, sikap yang tidak ikhlas tidak mendapatkan balasan dari Tuhan.

Nilai yang terkandung
 

Masyarakat Jawa terkenal dan identik dengan kerukunan dan sikap tolong menolong serta gotong royong bekerja sama antar satu dengan yang lain. Secara etimologis sendiri, kata gotong royong terdiri dari 2 kata yaitu gotong yang berarti menjunjung, royong yang berarti secara bersama-sama.
Sikap tolong menolong serta gotong royong dalam masyarakat di Jawa merupakan system pengikat masyarakat yang harus dipertahankan kelangsungannya. Dalam gotong royong akan sangat terlihat unsur memberi dan menerima. Alangkah baiknya apabila sikap ini tanpa ada pengharapan apapun.

Falsafah
 

Manusia disebut juga homo socius atau makhuk sosial. Hal ini mengandung maksud bahwa manusia selalu membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, hidup sebagai manusia diantara manusia lain mempunyai arti yang tinggi sejauh manusia itu sadar akan kehidupan masyarakatnya. Nilai seseorang ditentukan oleh masyarakat. Nilai ini diukur dari standar norma, yaitu kepatuhan terhadap norma yang berlaku dan pemenuhan kewajibannya dalam masyarakat itu sendiri.

 

Pengaruhnya dalam kehidupan modern
Ungkapan ini punya pengaruh yang besar dalam masyarakat terutama dalam hal dedikasi dan partisipasi dalam aktivitas sosial.


3.    Ana Sethithik Didum Sethithik, Ana Akeh Didum Akeh
 

Arti yang tersurat
Ada sedikit dibagikan sedikit, ada banyak dibagikan banyak.
Ana = ada
sethitihik = sedikit
didum = dibagikan
akeh = banyak
 

Arti yang tersirat
 

Jika ada rejeki sebaiknya dinikmati bersama. Jika rejeki hanya sedikit, masing-masing mendapat bagian sedikit. Tetapi jika rezeki itu itu banyak, masing-masing memperoleh bagian banyak. Dalam masyarakat harus berlaku keadilan sosial. Boleh saja terdapat orang kaya. Malahan makin banyak orang kaya akan semakin baik. Tetapi orang-orang yang miskin janganlah dibiarkan miskin. Masyarakat harus diatur sedemikian rupa sehingga kemakmuran antara warga negara yang satu dengan warga negara yang lain tidak terdapat perbedaan yang menyolok.
 

Nilai yang terkandung
 

Ungkapan ini mengandung nilai pendidikan ke arah kerukunan keluarga dan kerukunan masyarakat. Jika di antara anggota keluarga tidak ada yang rakus, sehingga baik rezeki yang hanya sedikit maupun rezeki yang banyak dapat dinikmati bersama dengan pembagian yang adil, semua pasti akan merasakan kebahagiaan. Juga kalau semua pekerjaan rumah tangga dapat dibagi-bagi secara adil, semua anggota keluarga akan merasa ringan. Demikian pula jika asas pemerataan dapat dilaksanakan dengan baik, maka semua anggota masyarakat akan mencapai kesejehteraan.
 

Latar belakang sejarah/ falsafah
 

Semua manusia adalah ciptaan Tuhan, dan semua manusia adalah sama dihadirat Tuhan. Dengan perkataan lain, Tuhan menghendaki agar setiap manusia bersikap sebagai saudara terhadap sesama manusia. Sikap rakus, sikap mau menang sendiri dan sebagainya, pendek kata semua sikap yang tidak sesuai dengan asas persaudaraan antar sesama manusia, tidak dibenarkan oleh Tuhan.
 

Pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat
 

Pengaruh ungkapan tersebut terhadap masyarakat dapat kita saksikan di desa-desa. Jika padi di sawah sudah sampai pada waktunya dituai, biasanya berdatanglah orang-orang yang derep atau ikut menuai. Meskipun padi yang akan dituai hanya sedikit sedang yang derep banyak, bagi si pemilik sawah tidak masalah. Baik di desa-desa maupun di kota-kota pada waktu-waktu tertentu orang mengadakan kenduri. Meskipun persediaan makanan sedikit sedang yang ikut kenduri banyak, bagi orang yang menyelenggarakan kenduri juga tidak menjadi masalah. Ada sedikit dibagikan sedikit, ada banyak dibagikan banyak.
 

Kedudukannya dalam masyarakat dewasa ini
 

Ungkapan tersebut masih dikenal dengan baik oleh masyarakat. Baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat sering terdengar ungkapan tersebut dipakai. Misalnya pada waktu dalam keluarga dilakukan pembagian makanan, biasanya sang ibu memberi nasihat kepada anak-anak dengan berkata: Ana sethithik didum sethithik, ana akeh didum akeh. Begitu pula dalam masyarakat, pada masa panen atau pada waktu seseorang mengadakan kenduri, prinsip yang terkandung dalam ungkapan tersebut dilaksanakan dengan baik.
 

Negara Mawa Tata, Desa Mawa Cara

Dalam suatu negara selalu memiliki peraturan, sedangkan desa memiliki adat istiadat
Negara : negara
Mawa : memakai atau memiliki
Tata : peraturan
Desa : desa
Cara : cara, kebiasaan atau adat istiadat
 

Arti yang tersirat
 

Disetiap negara selalu memiliki suatu peraturan tertentu yang wajib ditaati oleh warganya. Baik itu tata pemerintahan, tata hukum bahkan tata sosial. Desa adalah bagian dari suatu negara. Dan ditiap desa inilah memiliki adat istiadat atau kebiasaan yang wajib ditaati oleh masyarakat sedesanya. Adat ini bersifat tidak mengikat dan tidak dikenakan sanksi resmi, namun apabila seseorang melanggar adat ini biasanya mereka akan dikucilkan dari pergaulan di desanya.
 

Nilai yang terkandung
 

Unen-unen ini mengandung pengertian bahwa ditiap-tiap negara mempunyai peraturan yang berbeda, begitu juga ditiap-tiap desa mempunyai adat atau kebiasaan yang berbeda pula. Unen-unen ini mempunyai nilai pendidikan kearah sikap memahami serta menghargai siapapun orang yang berasal dari lain negara atau lain desa, sebab mereka mempunyai perbedaan adat dan juga peraturan. Begitu juga sebaliknya orang asing yang tinggal di suatu negara atau desa tertentu juga wajib menyesuaikan diri di lingkungannya itu.
 

Latar belakang
 

Pada zaman dahulu, di Indonesia terdapat banyak negara. Sejak zaman dulu itu pula masyarakat sudah mengetahui bahwa setiap negara atau Kerajaan mempunyai peraturan sendiri-sendiri dan sebagai orang Jawa khususnya telah mengetahui bahwa ditiap-tiap bagian negara telah mempunyai adat dan tata cara sendiri.
 

Pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat
 

Ungkapan ini mempunyai pengaruh yang positif pada masyarakat yaitu menyebabkan masyarakat menjadi memahami dan menghargai pergaulan terutama pergaulan antar negara atau antar daerah yang notabene mempunyai alam pikir berbeda-beda sebab terbentuk dari peraturan di tiap negaranya atau adat kebiasaan di daerahnya.
 

Kedudukan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini
 

Ungkapan ini masih dikenal dan sering diterapkan banyak orang dalam pergaulannya sehari-hari. Bagi orang tua, ungkapan ini seringdipakai sebagai nasehat untuk anaknya supaya mudah dalam menyesuaikan diri sehingga mudah pula dalam memperoleh banyak teman.   

GOLEK DALAN PADHANG


Arti yang tersurat
Mencari jalan terang
golek : mencari
dalan : jalan
padhang : terang


Arti yang tersirat
 

Mengamalkan kebaikan untuk sesama hidup

Nilai yang terkandung
 

Ungkapan ini mengandung nilai positif, yang intinya ialah menasihatkan agar kita bersikap bersedia mengamalkan perbuatan baik untuk kepentingan hidup bersama. Berbuat baik untuk orang lain bukan untuk mencari pujian, bukan mengharapkan sanjungan, melainkan dijalankan dengan tulus ikhlas, tanpa pamrih. Membina dan menggalang kerukunan, bersedia menolong orang lain yang memerlukan pertolongan dan sebagainya, merupakan perbuatan yang dapat dikelompokkan ke dalam ungkapan Golek dalan padhang.

Latar Belakang sejarah/falsafah
 

Dasar pemikiran orang Jawa mengungkapakan bahwa padhang atau pepadhang (terang atau hal terang; sumber terang) itu memudahkan segala-galanya, melancarkan segala-galanya. Segala keruwetan dapat diuraikan bila ada yang menerangi. Itulah sebabnya, maka setiap orang mencari terang, mencari hal yang dapat menerangi.
Orang yang sedang sedih mencari penghibur, dengan ungkapan Golek padhanging ati (mencari terang untuk hati). Orang yang sedang menghadapi masalah yang sangat rumit dan sukar diselesaikan, mengharapkan bantuan orang lain yang dinilai dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk memecahkan atau menyelesaikan persoalannya. Maka dia dikatakan Golek pepadhang (mencari penerang, mencari sarana untuk menjadikan terang).
Yang dimaksud dengan dalan padhang ialah segala sarana untuk memudahkan atau melancarkan terlaksananya setiap maksud. Di dalam hidup bermasyarakat, semua amal perbuatan yang baik disamakan dengan dalan padhang. Dengan menanamkan amal baik maka orang akan dapat memperoleh kemudahan dalam segala hal.
Norma-norma hidup yang dianggap tinggi nilainya, misalnya sikap rukun damai, berbuat baik kepada sesama, tidak pernah melukai hati orang lain, senang memberikan pertolongan kepada orang lain, sikap andhap-asor (rendah hati), kesemuanya itu merupakan dalan padhang.
Bagi masyarakat Jawa, pemikiran tentang hidup dan kehidupan bukan hanya terbatas kepada hidup dan kehidupan di alam fana. Bukan hanya terbatas pada hidup dan kehidupna dunia, melainkan lebih jauh lagi, sampai menjangkau ke pemikiran tentang hidup dan kehidupan di alam baka, yakni akhirat. Dalan padhang yang dirintis pada waktu hidup di dunia fana, akan membuka kemudahan di dalam menempuh hidup di dunia baka, di alam baka, yaitu akhirat.
Dasar pemikiran yang demkian inilah yang melatarbelakangi timbulnya ungkapan Golek dalan padhang. Golek dalan padhang dapat diartkan merintis jalan terang dengan tujuan merintis jalan terang di dalam kehidupan di akhirat. 

Pengaruhnya di dalam kehidupan masyarakat
Ungkapan ini berpengaruh besar di dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya ungkapan ini, maka setiap anggota masyarakat merasa memililki pegangan dasar atau norma untuk mengatur tingkah lakunya selama hidup bermasyarakat. Orang yang di dalam masyarakat tidak mau rukun dengan tetangganya, tidak pernah mau bekerjasama dengan sesamanya, orang yang sikap dan tindakannya selalu menimbukan kerugian atau kesusahan orang lain, maka para tetangganya mengatakan : Ora golek dalan padhang (tidak mencari jalan terang).

AJINING DIRI SOKO LATHI AJINING ROGO SOKO BUSONO
 

Bagi anda yang kebetulan terlahir sebagai orang jawa mungkin pernah mendengar kata-kata diatas atau bahkan sudah hafal diluar kepala berikut arti atau makna sebenarnya. namun bagi anda pembaca yang belum tahu artinya, maka berikut akan coba saya jelaskan secara singkat, dan semoga bermanfaat.

Ajining diri soko lathi dapat diterjemahkan secara bebas adalah harga diri seseorang ditentukan oleh tutur katanya (lathi = lidah). penilaian baik atau buruk adalah berkaitan dengan jiwa sosial kita. orang lain akan menilai kita tergantung bagaimana kita bertutur kata. jika kita sering bicara kasar, maka orang lain akan mengenal kita sebagai orang kasar, sebaliknya orang dpt mengenal kita sbg orang halus,lembut tidak berpendidikan,bodoh dan lainnya. jadi betapa pentingnya dan besar pengaruh ucapan kita thd kehidupan kita.
Sekarang kita bahas, ajining rogo soko busana (nilai penampilan seseorang tergantung dari pakaian). maksudnya adalah pakaian seseorang dapat menunjukkan status orang dimata orang lain. orang dapat dilihat sebagai orang yang rajin, malas, jorok dilihat dari penampilan orang. pernahkan anda melihat teman anda yang setiap pergi ke kantor selalu berpakaian kusut (terkesan tidak pernah disetrika), maka orang disekitarnya melihatnya sebagai kurang rajin/malas. bahkan secara tidak sadar pakaian dimasyarakat kita sudah langsung dapat menimbulkan persepsi seseorang terhadap kita. melihat orang pakaian compang-camping = pengemis/peminta2, seseorang yang berkemeja rapi dan berdasi = orang kerja kantoran/bergaji tinggi. Jadi sekarang terserah anda maunya seperti apa anda dipandang orang lain. semuanya tergantung kita. nilai anda, anda sendiri yang menciptakan dengan berpedoman prinsip ajining diri soko lathi ajining rogo busono.

Eling Sangkan Paraning Dumadhi.
 

Dalam pergaulan masyarakat Jawa terutama kalangan generasi tua, ungkapan yang arif ini sangat terkenal. Secara bebas diartikan sebagai ingat akan asal dan tujuan hidup. Ungkapan ini mengandung nasihat agar seseorang selalu waspada dan eling (ingat, sadar) terhadap sangkan (asal) manusia dan paran (tujuan akhir). Dengan sadar dan waspada dalam perjalanan hidupnya, ia akan mampu meredam emosi, nafsu, ikatan ikatan duniawi dan berupaya untuk bertindak lebih baik, karena ia memiliki tujuan akhir yang jelas, yaitu sowan ngarsaning Gusti (menghadap ke hadirat Tuhan). Ungkapan Eling Sangkan Paraning Dumadhi dijadikan sebagai pengendali sewaktu seseorang melakukan perbuatan negatif. Selain itu dapat juga dimanfaatkan untuk meluruskan dan membesarkan hati ketika terkena beban hidup, sakit, kekecewaan, patah hati, ketidakbahagiaan. Upaya pelurusan ini untuk penyadaran akan sangkan (asal) dan paran (tujuan) hidupnya.

Alon-alon waton klakon
 

Filosofi ini sebenarnya berisikan pesan tentang safety . Orang dahulu sudah mengisyaratkan arti penting filosofi ini, tapi banyak orang melecehkan bahkan menganggap sebagai sifat malas orang jawa. Padahal kandungan maknanya sangat dalam. Filosofi ini mengisyaratkan tentang kehati-hatian, waspada, istiqomah, keuletan, dan yang jelas tentang safety. Di dunia modern masalah safety menjadi bagian terpenting untuk keberhasilan suatu pekerjaan karena didalamnya ada aturan-aturan yang menginstrusikan menghindari resiko-resiko yang akan terjadi.
Narimo ing pandum
 

Sudah berapa sering terdengar orang melecehkan filosofi ini. Biasanya orang hanya mengenal bahwa orang jawa itu hanya bersikap ‘Nrimo” saja. Sifat pasrah dan mau dijajah oleh penguasa. Padahal bukan hanya berhenti sampai di kata “Nrimo” saja. Tapi lebih dari kata itu adalah ‘Nrimo ing Pandum’ atau Menerima kepada hasil pembagian. Arti yang mendalam menunjukan pada sikap Kejujuran, keiklasan, ringan dalam bekerja dan ketidakinginan untuk korupsi. Inti filosofi ini adalah Orang harus iklas menerima hasil dari usaha yang sudah dia kerjakan. Biasanya orang yang memegang teguh filosofi ini dia akan ringan dalam bekerja dan yang terpenting adalah dipercaya oleh orang lain. Nah kepercayaan adalah hal terpenting dalam dunia usaha. Bukan tidak mungkin kesuksesan selalu diterimanya oleh pemegang filosofi ini.
Saiki jaman edan yen ora edan ora komanan, sing bejo sing eling lan waspodo
Orang indonesia cenderung mengikuti mode, tren atau budaya yang sebenarnya belum saatnya kita peroleh atau bahkan memang sangat tidak cocok dengan jiwa bangsa kita. Kecenderungan mengikuti mengikuti tren itulah yang membuat lupa akan bahaya yang mengancam. Hanya orang yang ingat kepada Allah (disini saja juga tidak cukup) dan waspada terhadap duri-duri kehidupan yang setiap saat bisa datang dan menghujam kehidupan, sehingga bisa mengakibatkan musibah yang berkepanjangan. Pada filosofi ini kata ‘sing bejo sing eling lan waspodo’ sering tidak terdengar lagi. ‘Sekarang jaman gila kalau tidak ikut gila maka tidak kebagian, hanya orang ingat (kepada Tuhan) dan waspada (bahaya) yang menerima keberuntungan’. itulah arti dari filosofi diatas.
 

Mangan ora mangan sing penting ngumpul
 

‘Makan tidak makan yang penting kumpul’. Filosofi ini adalah sebuah peribahasa. Kalimat peribahasa tidaklah tepat kalau diartikan secara aktual. Filosofi ini sangat penting bagi kehidupan berdemokrasi. Kalau bangsa kita mendasarkan demokrasi dengan falsafah diatas saya yakin negara kita pasti akan aman, tentram dan sejahtera. ‘Mangan ora mangan’ melambangkan eforia demokrasi, yang mungkin satu pihak mendapatkan sesuatu (kekuasaan) dan yang lain pihak tidak. Yg tdk dapat apa-apa tetap legowo. ‘Sing penting ngumpul’ melambangkan berpegang teguh pada persatuan, yang artinya bersatu untuk tujuan bersama. Saya pikir Filosofi ‘Mangan ora mangan sing penting kumpul’ adalah filosofi yang cocok yang bisa mendasari kehidupan demokrasi bangsa Indonesia agar tujuan bangsa ini tercapai.
Wong jowo ki gampang di tekuk-tekuk.
 

Filosofi ini juga berupa ungkapan peribahasa yang dalam bahasa Indonesia adalah ‘Orang Jawa itu mudah ditekuk-tekuk’. Ungkapan ini menunjukan fleksibelitas dari orang jawa dalam kehidupan. Kemudahan bergaul dan kemampuan hidup di level manapun baik miskin, kaya, pejabat atau pesuruh sekali pun. Orang yang memegang filosofi ini akan selalu giat bekerja dan selalu ulet dalam meraih cita- citanya. Filosofi inilah yang membuat masyarakat suku jawa tersebar ke seluruh penjuru tanah air dan disayangi oleh suku lain.
Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso o Rumongso
Ketika kita memperoleh suatu pengetahuan, ilmu, atau pengalaman terkadang muncul sifat sombong dari diri kita. Bahwa kita dapat menyelesaikan suatu masalah dengan ilmu atau pengalaman yang kita peroleh. Padahal banyak faktor yang menentukan penyelesaian suatu masalah dan bukan hanya dari sudut pandang yang kita pahami. Di sini orang lantas merasa bisa, sifat ego manusia yang muncul tanpa menghiraukan pendapat orang lain. Dalam filosofi Jawa, sifat ini yang dinamakan Rumongso Biso (merasa bisa). Ajaran masyarakat Jawa menekankan untuk dapat melakukan koreksi ke dalam, sehingga tidak terdorong untuk menghujat atau merendahkan orang lain. Cobalah untuk memahami pendapat yang lain, walau hal itu mungkin sangat bertentangan dengan yang kita yakini. Dengan Biso o Rumongso (bisa merasa) atau melatih empati kita untuk memahami orang lain akan mendorong untuk berkompromi mencapai suatu keseimbangan. Hal ini akan membuat semua perselisihan atau konflik yang ada di dunia ini dapat teratasi. Janganlah menjadi orang yang merasa bisa, melainkan yang bisa merasa.

0 komentar:

Posting Komentar