Nyadran




Bagi masyarakat Jawa, bulan Sya’ban ini dinamakan dengan bulan Ruwah. Para tokoh mengatakan bahwa kata ruwah berasal dari kata ngluru dan arwah. Dalam pandangan falsafah jawa, bulan Ruwah kemudian dipercaya sebagai saat yang tepat untuk ngluru arwah atau mengunjungi arwah leluhur.
Selama bulan Ruwah itu masyarakat Jawa mengadakan upacara Nyadran (berasal dari kata Sraddha, bahasa sansekerta), mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam dan menabur bunga. Upacara Sraddha ini sudah dilakukan sejak jaman Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, Sejarawan Zoetmulder juga mengisahkan upacara Sraddha pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Setelah agama Islam masuk ke tanah Jawa, upacara Sraddha tetap dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa islami dan suasana penuh silaturrahmi yang diadakan tiap bulan Ruwah.
Ritual slametan Nyadran pada tiap-tiap daerah di Jawa dilaksanakan dengan berbagai cara yang berbeda. Masyarakat pedesaan Jawa umumnya menyelenggaran upacara Nyadran secara umum (komunal) yang diselenggarakan pada siang hari hingga sore. Masing-masing warga membuat tumpeng kecil yang kemudian dibawa ke rumah kepala dusun untuk sama-sama mengadakan do’a dan makan bersama (kenduri). Ada juga yang langsung dibawa ke makam dan mengadakan do’a bersama di makam.
Menu makanan yang dipersiapkan biasanya berupa nasi gurih dan lauknya. Sebagai sesaji, terdapat makanan khas yaitu ketan, kolak, dan apem. Ketiga jenis makanan ini dipercaya memiliki makna khusus. Ketan merupakan lambang kesalahan (khotho’an), kolak adalah lambang kebenaran (kolado), dan apem sebagai simbol permintaan maaf. Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya, makanan ketan, kolak, dan apem memang selalu hadir dalam setiap upacara/slametan yang terkait dengan kematian. Makna yang terkandung dalam sesaji ini adalah agar arwah mendapatkan tempat yang damai di sisi-Nya.

Sementara itu di masyarakat yang lain ada yang mengemas makanan itu ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi. Selain dipakai untuk munjung (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, makanan itu juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari makanan tadi.
Selanjutnya, acara puncak sadranan itu dimulai dengan membersihkan makam. Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu.
Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, tokoh desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar.
Menurut Fandi Hutari (2009), aneka makanan, kemenyan, dan bunga yang tersaji dalam tradisi nyadran memiliki arti simbolis, antara lain:
a. Tumpeng, melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul.
b. Ingkung (ayam yang dimasak utuh) melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan.
c. Pisang raja, melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia; jajan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan.
d. Ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna permohonan ampun jika melakukan kesalahan.
e. Kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa.
f. Bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus.
Beraneka “bawaan” tersebut merupakan unsur sesaji sebagai dasar landasan doa. Setelah berdoa, makanan-makanan tersebut menjadi rebutan para peziarah yang hadir. Inilah arti kebersamaan dalam tradisi nyadran.
Selain makna-makna tersebut, nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa kita.

Perlengkapan Upacara

Pada upacara pertama dan kedua hidangan yang disediakan hanya konsumsi biasa
sedangkan pada upacara ketiga berupa tumpeng , nasi wuduk dan nasi ambeng yang masing - masing beserta rangkaiannya .

Adapun rangkaian perlengkapan sebagai berikut :

a. Tumpeng : Nasi putih berbentuk kerucut ( gunung ) tanpa lauk pauk , melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan supaya permohonannya terkabul.

b. Nasi Gurih / Wuduk : Nasi putih diberi santan , garam dan daun salam sehingga rasanya gurih , nasi ini juga disebut nasi rasul karena nasi ini merupakan lambang permohonan keselamatan dan kesejahteraan Nabi Muhammad SAW , para sahabat dan bagi penyelenggara dan peserta upacara.

c. Nasi Ambeng : Nasi ambeng ini disertai lauk pauk , dan dibungkus dengan daun pisang . Nasi ini disediakan oleh warga masyarakat

d. Ingkung : Ayam yang dimasak secara utuh diberi mumbu tidak pedas dan santan . Ingkung melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan atau masih suci . Ingkung juga melambangkan kepasrahan kepada Tuhan.

e. Bunga : Bunga terdiri dari bunga mawar , melati dan kenanga . Bunga ini melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati yang tulus , kecuali itu bau harum mempunyai makna kemuliaan.

f. Pisang Raja : Melambangkan suatu harapan agar kelak kemudian hari warga masyarakat desa Wijirejo hidupnya selalu bahagia seperti raja

g. Kemenyan : Merupakan sarana permohonan pada waktu orang mengucapkan dopa , kemenyan yang dibakar akan menimbulkan asap berbau harum

h. Jajan Pasar : Sesaji yang terdiri dari bermacam - macam makanan yang dibeli dari pasar , bermakna suatu harapan agar warga masyarakat desa Wijirejo selalu memperoleh berkah dari Tuhan sehingga hidupnya selalu mendapatkan kelimpahan dalam mengerjakan sawahnya

i. Ketan : Berasal dari kata Khotan yang artinya kesalahan

j. Kolak : Berasal dari Qala yang artinya mengucapkan

k. Apem : Berasal dari kata Aquwam yang berarti ampun . Ketan , kolak dan apem ini merupakan satu rangkaian yang bila diartikan secara keseluruhan berarti jika merasa salah cepat - cepatlah mengucapkan mohon ampun.

0 komentar:

Posting Komentar