0

Terpendam dalam Diam



Langit-langit kamar itu kubiarkan tersinari lampu temaram. Tampak suram. Tapi aku tak merasa terganggu atau pun takut dengan suasana semacam itu. Seakan ketakutanku telah menguap bersamaan dengan perasaan yang aku rasakan.

Asap mengepul bebas keluar dari secangkir kopiku. Kuhirup pelan menikmati aroma taste capuccino yang merasuki hidungku. Sebegitu mudahnya aku terhanyut oleh itu. Tapi... sepertinya tidak untuk fikiran dan hatiku terayu.

Gelap menyungkup langit bagai tirai raksasa. Perlahan rintik hujan berguguran. Menciptakan dentingan-dentingan pelan penuh dengan keharmonisan. Aku masih termangu dalam bisu. Mengaduk-aduk secangkir kopi tanpa alasan, itulah yang bisa aku lakukan. Hati kecilku berbisik bahwa masih ada sedikit rasa yang bergejolak di balik dada. Tak sadar, kesiur angin timur perlahan menghempaskanku pada serpihan-serpihan kenangan masa lalu. Ya, masa lalu yang sungguh mengiris kalbu.

Aku menahan diri dari gejolak yang mulai tak terkendali.
Namamu. Ya namamu yang kemudian kutemui di catatan usang sebuah lembar Diary. Aku membaca perlahan, mengeja sejarah yang terlewatkan dengan takjub, ketidakmungkinan menjadi kemungkinan. Carut marut. Kuyakini bahwa kehadiranmu memang seharusnya sejak dulu. Tidak sekadar sebagai kawan.

Bagaiman mungkin ? pada akhirnya aku mencintaimu sedalam ini ? cinta yang tak akan pernah penaku sanggup tuliskan. Tak sanggup pula menggambarkan bagaimana ada sejuta pengharapan tentang sebuah kehidupan baru yang akan ku lalui. Semuanya terjadi bagaikan misteri yang ku baca waktu itu sebagai masa depan yang luar biasa membahagiakan.

Dulu, aku diam-diam menaruh rasa kepadamu. Dengan semena-mena kubiarkan kau untuk mengukir namamu di sudut hatiku. Pada saat itulah rasa candu akan semuanya tentangmu mengisi rongga dadaku. Di setiap lembaran-lembaran hariku selalu kuselipkan dan kubingkai semuanya tentangmu. Namun sayang, pada saat itu aku masih dalam taraf sebagai pelukis yang sangat buruk. Karena aku tak sanggup untuk menggoreskan kuas dan kanvas lukisku untuk menaangkap semua objek keindahanmu.

Waktu terus berlalu. Sudah sejak lama aku berkecimpung dalam warna keindahanmu. Akan tetapi, entah kenapa mulutku terbungkam dalam. Aku tidak mampu menyampaikan secuil rasa yang bersarang di dada kepadanya. Lidahku kelu untuk menguntaikan kata angker I Love You.

“Hahaha... pecundang ...!!” Hatiku mencerca.

Ya, aku memanglah pecundang. Yang mengaku kalah sebelum berperang. Tapi, harapku cukup satu, jadilah peramu hariku dan objek lukisku.

*****

Seakan mataku tertutup
Ku ingin cinta ini dapat kau sambut
Harapkan perasaan ini kau tahu
Sungguh ku ingin kau jadi milikku

Bersamaan dengan lagu Bondan Fade 2 Black yang mengalun lirih, kuteguk secangkir kopi itu. Kusesap pelan. Berharap dari sanalah aku mendapatkan ruang kebebasan. Kulihat jam yang menggantung bebas di dinding. Sudah menunjukan pukul 02 : 15. Entah kenapa aku masih enggan untuk menutup mata. Membiarkannya untuk beristirahat sejenak setelah seharian penuh mengamati keindahanmu melewati jejak-jejakmu yang terpajang di dunia maya.

Rintik hujan mulai reda. Berganti dengan bulan sabit yang tampak ragu dan malu-malu untuk menyunggingkan seulas senyuman. Bintang berkedip-kedip mesra di antara keagungan sinar rembulan. Di sini, aku masih terdiam. ku biarkan semuanya berperang hebat di medan hatiku. Tapi........... semakin ku diam semaikin ku pendam semakin pula terlukis dengan jelas caramu tersenyum, menatapku, berbicara padaku, dan berjalan di sampingku, dengan caramu seperti itu telah berhasil membuat segala apa yang kurasakan menjadi berantakan.

“Kau di sana, duduk tidak jauh dariku, membelakangiku. Kau di sana, tertawa dan bernyanyi dengan lepasnya. Seharusnya kau mengedarkan pandanganmu. Seharusnya kau tahu aku di sini, di belakangmu. Seharusnya kau tahu bagaimana perasaanku padamu.” Celoteh hati.

Ya.........., walaupun aku tidak bisa menjamin kebahagiaan, tapi aku punya cinta untuk kuberikan. Dan dengan cinta itu, aku berjanji akan menjadi laki-laki yang kamu butuhkan.

*****

Tak terasa mataku mengatup pelan. Jeratan benang merah bernamakan cinta yang terpendam itu benar-benar telah mengikatku dalam jurang kenangan.

Cinta ini derita, ku harap kau juga merasa
Apa yang kurasa tanpa banyak tanda tanya
Rasa ini fakta, selektif bukan posesif
Ku tak ingin berdusta, ku cinta kau Bunga

Dengan lagu itu, kini telah tertumpahkan semua rasa yang bersarang lama di dada. Dan dengan lagu itu juga, kini aku telah siap untuk menyongsong fajar dengan mata dan hati terbuka. Aku telah berhasil menembus pintu yang berisi genangan-genangan kenangan berkat uluran tangan gaib yang menolongku. Apalagi kalau bukan tangan-tangan gaib cinta. Yaaaap.....!!

0

Aku & Hujan



aku benci hujan, tahu kenapa ? karena dia beraninya keroyokan. tapi disisi lain, aku menyukai hujan. tahu kenapa ? karena dialah yang menyadarkanku dalam keheningan malam. lamunan itu timbul kembali dari masa hibernasinya yang teramat panjang.

dan pada akhirnya aku menyukai hujan. ketika terlukis pelangi setelah semuanya berangsur terang. hujan pun rela menjadi penyeimbang rasa gundah dan bahagia di setiap sela waktuku bersamamu, tapi itu dulu.

kini hingga nanti, aku sudi menjadi penikmat hujan. tahu kenapa ? karena hujan bagiku adalah pengantar rindu. tapi terkadang, hujan terlalu banyak mengirimkan tetesan yang memukul dinding masa lalu yang mengingatkanku akan semuanya tentangmu yang (pernah) membuatku pilu.

ingin ku menangis rindu ketika teringat seberkas kenangan masa lalu. kemudian aku mencoba untuk menerka, apakah hujan dapat melarutkan rasa gundah yang bersarang lama di dada ? ah, tapi sayang. hujan terlalu malas untuk berbalas sapa. dan kini, kumulai kembali untuk menjadikan diriku sebagai penikmat hujan. karena hujan dapat membantuku untuk menyamarkan air mata ! aku benci kepalsuan. tapi aku harus tetap tesenyum meskipun duka telah menjarum di hatiku sejak lama.

bagiku, romantis bukan ketika menatap hujan yang menitik dalam gerak lambat. tapi merekam senyum yang pernah kau buat dengan pahatan lesung pipi yang mebuatku tersengat. entah kenapa hujan selalu mengingatkanku pada kenangan waktu itu. bersama kamu.............???

hujan selalu bercerita bersamaku dalam kabut jendela dan kutuliskan namamu di setiap sudut dinding hatiku. karena ku ingin kau tahu, kau telah berhasil membuatku menelan rasa candu akan semuanya tentangmu.

# Hujan perajut angan menjadi sebuah kenyataan...!!

0

Titik Akhir


11 Mei 2015

Aku tersungkur dalam getir yang tak pernah terbayangkan sedikit pun di benakku. Dalam beberapa menit yang lalu, aku harus melihat kenyataan pahit yang meluluh lantahkan hatiku. Kelam kabut kehancuran mengikuti, gelap menutup rapat hati. perih luka berbondong-bondong menampar jiwaku. Rasa amarah telah menguasai, jiwa sudah tak mampu untuk merayunya kembali.

Luka yang kurasakan ini teramat dalam. Perasaan itu selalu menyelinap masuk untuk membuatku semakin sakit. Entah di mana kini jiwaku berada, langit berbintang di atas sana tak menunjukkan. Semuanya semakin melambat, menghempaskanku hingga logika tak berdaya. Ya, aku masih tertatih dalam gelap.

Pernahkah kau tenggelam ke dalam air yang dalam di mana kegelapan menyelimutimu ? Tak ada satu pun titik cahaya bagimu untuk menunjukkan arah. Kau hanya sendiri bersama sepi. Kau hanya terus mencoba untuk menggapai dalam kosong. Kau tenggelam tanpa bisa mencapai permukaan dan tubuhmu melayang terbawa arus, semakin lama semakin dalam. Dan kau bersemayam.

“Sudahlah. Jangan difikirkan.” Ucap seseorang yang berada di sebelahku. Ia menepuk pundakku
dengan pelan. Tapi aku masih diam. Seakan rona ceria telah terhapus dalam kamus hidupku. Ribuan mendung telah menutup hatiku. Terhujani oleh rasa perih, pedih, sakit, dan semuanya tercampur aduk membentuk gumpalan-gumpalan besar yang menyumbat aura ceria untuk keluar dari persembunyiannya.

“Berani mencinta, ya, konsekuensinya kamu harus berani terluka.”

“Iya, aku tahu itu.” Akhirnya aku bisa membuka mulutku juga, meskipun hanya sesingkat angin berlalu.

“Lintang....” Panggil seseorang. “Wanita di dunia ini tidak hanya dia saja. masih banyak kok di luar sana wanita yang lebih baik darinya.” Ia menggenggam erat pundakku. Seolah ia tak tega melihat sahabat sejatinya terpuruk setelah mendapati kenyataan terpahit dalam hidupnya. Ya, melihat orang yang teramat ia cinta telah bergandengan tangan dengan sosok teman yang paling ia kenal.

Ia menghela nafas dan menatap mataku dengan penuh. “Jika kamu terus-menerus memikirkannya, itu hanyalah pekerjaan loser..!!”

Aku menelan ludah sekali. “Rian, ngomong itu gampang.” Jawabku ketus. “Ia sudah aku anggap sebagian dari hidupku, dan itu sangat sulit untuk melupakannya.”

“Oke, oke. I know.” Ia melepaskan genggamannya pada pundakku. Membiarkan kedua tangannya teracung layaknya seorang pencuri yang tertangkap basah oleh polisi.

“Sulit memang melupakan sesuatu yang telah menyatu pada diri kita. Tapi apakah kamu tahu ?” Ia menoleh ke arahku yang masih tertunduk lesu.”Bukankah cinta sejati itu, rela melepaskan orang yang kita sayangi pergi meninggalkan kita, membiarkannya merasa bahagia dengan orang yang ia suka.”

Aku terhenyak.

Apakah cinta sejati memang seperti itu ? Sungguh tidak adil !! Ironis. Jika cinta sejati memang seperti itu, apakah rasa sakitnya seperti ini ?

Malam semakin kelam. Langit berbintang seolah tak lagi bersinar terang. Aku meneguk sekali secangkir kopi panas. Akan tetapi rasa panas itu tak aku pedulikan, karena rasa panas kopi itu masih lebih panas dengan apa yang aku rasakan. Sejenak aku menghisap sebatang rokok yang entah untuk keberapa kali aku menghisapnya. Kepulan asapnya seakan hanya berputar-putar menyelubungi tubuhku.

Aku sudah tak bisa berfikir jernih. Hatiku hancur dan hidupku berantakan. Kejadian tadi masih saja menghantuiku. Masih terekam sangat jelas dalam bayangku.

“Ya, begitulah Lintang. Kadangkala keputusan wanita itu sulit dimengerti. Seperti wasit-wasit pemimpin jalannya pertandingan sepak bola di negeri ini.”
Aku tersenyum. Tipis.

*****


0

Ketika Senja Melukis Luka



Senja telah mengukir kejayaannya di ufuk barat. Di antara merekahnya warna mega yang menyiratkan cahaya kekuning-kuningan. Renai hujan di pucuk-pucuk rumput memberikan pancaran sinar serupa pelangi yang bergemerlap indah. 

Semburat senja di danau telah hampir menghilang dari pandangan saat ini. debur air pelan mengiringi matahari yang beranjak turun ke peraduannya. Diiringi debur air yang mendayu-dayu, warna senja mulai memudar dan perlahan berganti fase menuju gelapnya malam. Semilir angin yang tadi terasa hangat perlahan-lahan pun berubah menjadi lebih dingin.

Di tempat itu beberapa saat yang lalu, wanita bermata cokelat bening tengah terdiam terpaku menatap senja. Senja yang menemani kesepiannya di tanah yang menyimpan sejuta cerita baginya. Di mana-mana senja seharusnya sama saja, namun senja baginya hanyalah menyimpan luka. Akan tetapi juga sebuah kerinduan. Kerinduan yang menyiksa dirinya. Dia tahu kepada siapa ia merindu. Tapi dia tidak bisa memeluk raga dari orang yang dicintainya itu. Begitu menyiksa memang. Dan terkadang membuat hatinya menjadi bergejolak dalam keinginan yang terpendam.
Wanita itu sesungguhnya selalu bertanya-tanya, mengapa ia merasakan luka tiap kali melihat senja. Cerita itu telah terpendam di dadanya begitu lama hingga melahirkan kerinduan yang aneh baginya. Senja yang mengalir indah juga mengalirkan oase kesedihan yang seperti berpuisi di dadanya.

Rindu seharusnya membuatku tertawa
Namun rindu itu hanya menitipkan luka

Terkadang saat jiwanya merindu, maka ia akan duduk lebih lama menatap senja. Dan disaat itu jiwanya akan banyak bercerita. Tentang kerinduan. Tentang harapan. Tentang apa saja yang berkecamuk di balik dadanya.

Wanita itu bernama Kejora. Kejora Anggrelina. Ia berumur dua puluh tahun telah genap ia lalui. Ia adalah seorang wanita yang cantik, berkulit putih dengan rambut yang ia biarkan tergerai panjang. Walaupun ia bertubuh mungil, tapi ia mempunyai paras yang begitu menawan.

Pengalaman masa lalunya yang begitu pahit telah menyeretnya untuk kembali mencumbui senja. Ya, tentang masa lalunya bersama seorang laki-laki yang paling ia cinta, Dilan namanya. Akan tetapi sosok itu telah menghilang untuk selama-lamanya. Dan dia hanya bisa mengais sisa-sisa kenangan yang dulu pernah memberikan kebahagiaan di dalam hidupnya. Masa lalu baginya serupa tali layang-layang yang diulur panjang. Seberapa pun ia terbang, tali itu tak akan membiarkannya untuk terlepas bebas.

Dilan adalah sosok laki-laki yang selama empat tahun terakhir mengisi kekosongan hatinya, mewarnai setiap harinya, dan menjaga setiap langkahnya. Setiap kali senja menyapa, ia selalu bersamanya, berada di sampingnya hanya untuk sekedar menghabiskan waktunya dan melepaskan rasa rindu akan sosok laki-laki yang paling ia cinta itu. Tapi kini semua itu hanyalah menjadi seberkas kenangan masa lalu. Tiap kali ia mengingatnya, entah kenapa ia selalu merasakan rasa sakit yang tak tertahankan. Kerinduan itu bak pisau yang menghujam jantungnya.
Ketika ia menatap senja, ia merasakan seakan jiwanya tengah tengelam dalam fatamorgana seorang laki-laki dan wanita yang sedang berpadu kasih di atas batu besar dan di bawah meredupnya sinar mentari. Terkadang pada saat itulah, setitik air mata pun tiba-tiba mengalir pelan dari sudut-sudut matanya.

“Aku akan selalu berada di sampingmu, di sini.” 

Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di benak Kejora. Ia tak akan pernah lupa dengan janji manis yang telah terucap dari mulut laki-laki yang dicintainya itu. Kebahagiaan empat tahun yang lalu ia rasakan kini telah terenggut dalam sekejap mata karena kecelakaan yang menimpa keduanya pada saat perjalanan mereka ingin menikmati sunset di tepian danau.

Kejadian itu bermula pada saat keduanya mengendarai sebuah motor yang sama. Tiba-tiba dari arah berlawanan terdapat mobil yang melaju sangat kencang menerpa keduanya. Keduanya sampai terpental begitu jauh karena efek tabrakan itu. Dilan yang berada di posisi depan seketika tubuhnya berlumuran darah segar yang mengucur deras dari kepalanya. Sedangkan Kejora yang posisinya di belakang, ia hanya mendapatkan luka yang tidak begitu parah, hanya saja keningnya terbentur oleh bebatuan yang membuatnya hampir tak sadarkan diri.

Pada saat itulah, Kejora merangkak dengan sisa-sisa tenaganya untuk mendekati Dilan yang terkulai lemas di pinggir jalan. Ia menggerak-gerakkan tubuh Dilan dengan keras. Memanggil-manggil namanya berulang-ulang sembari menepuk pelan kedua pipi laki-laki itu. Tapi, tak ada respon sama sekali. Dan dengan reffleks sepontan ia menjerit dengan lantang memanggil nama laki-laki itu dengan kencang. Dan tak terasa tubuhnya tiba-tiba ikut terbaring lemas di samping Dilan. Ia memegang erat tangannya dan kemudian matanya mengatup pelan.

*****
Ketika senja mulai menyapa, ia selalu berada di sana. menikmati setiap kehangatannya, keindahannya. Dengan cara seperti itulah mungkin ia sejenak bisa mengobati rasa rindu yang sering kali menyiksa dirinya.

Saat mentari mulai beranjak turun, semakin berat rasanya ia untuk pergi meninggalkannya. Itu sama saja membiarkan rasa sepi menyelimuti dirinya.

Apakah rasa itu terus menerus menghantuinya ? Ah, mungkin satu saja kata yang tepat untuk memberikan solusi yang terbaik baginya. Ya, move on. Tapi kata-kata itu memang mudah untuk dilafalkan, akan tetapi sulit untuk dilakukan. Biarkanlah ! Biarkanlah itu semua mengalir dan tersimpan di dalam memori otaknya. Dan membiarkannya untuk kembali merajut butiran harapan menjadi suatu paduan kerinduan yang dapat mengobati rasa sakit yang ia rasakan..