SEJARAH KARAWITAN

Istilah Karawitan
 

Karawitan berasal dari bahasa jawa rawit berarti rumit, berbelit-belit, tetapi
rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak. Kata jawa karawitan
khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia
yang bersistem nada nondiatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang
garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme,
memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian
instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar, mengandung
nilai-nilai historis dan filosofis bagi bangsa Indonesia. Dikatakan demikian
sebab gamelan Jawa merupakan salah satu seni budaya yang diwariskan
oleh para pendahulu dan sampai sekarang masih banyak digemari serta
ditekuni. Secara hipotesis, masyarakat Jawa sebelum adanya pengaruh
Hindu telah mengenal sepuluh keahlian, diantaranya adalah wayang dan
gamelan. Dahulu pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk
kalangan istana. Kini siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang
bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk ketegori pusaka mempunyai
fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual.
Kita harus bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan
gamelan sudah jelas ada. Duniapun mengakui bahwa gamelan adalah alat
musik tradisiaonal timur yang dapat mengimbangi alat musik barat yang
serba besar. Di dalam suasana bagaimanapun suara gamelan mendapat
tempat di hati masyarakat. Gamelan dapat digunakan untuk mendidik rasa
keindahan seseorang. Orang yang biasa berkecimpung dalam dunia
karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa halus, tingkah laku
sopan. Semua itu karena jiwa seseorang menjadi sehalus gendhinggendhing.
 

Definisi Seni Karawitan
 

Sebelum istilah karawitan mencapai popularitas di masyarakat seperti
sekarang ini, dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di lingkungan daerah
Jawa Tengah dan Yogyakarta, sudah sering terdengar kata rawit yang
artinya halus, indah-indah (Prawiroatmojo, 1985:134). Begitu pula sudah
terdengar kata ngrawit yang artinya suatu karya seni yang memiliki sifatsifat
yang halus, rumit, dan indah (Soeroso:1985;1986). Dari dua hal
tersebut dapat diartikan bahwa seni karawitan berhubungan dengan sesuatu
yang halus, dan rumit. Kehalusan dan kerumitan dalam seni karawitan
tampak nyata dalam sajian gending maupun asesoris lainnya.
Suhastjarja (1984) mendefinisikan seni karawitan adalah musik Indonesia
yang berlaras non diatonic (dalam laras slendro dan pelog) yang garapangarapannya
sudah menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme,
memiliki fungsi, sifat pathet, dan aturan garap dalam bentuk instrumentalia,
vokalis dan campuran, enak didengar untuk dirinya maupun orang lain.
Istilah gamelan telah lama dikenal di Indonesia, sudah disebut pada
beberapa kakawin Jawa Kuno. Arti kata gamelan, sampai sekarang masih
dalam dugaan-dugaan. Mungkin juga kata gamelan terjadi dari pergeseran
atau perkembangan dari kata gembel. Gembel adalah alat untuk memukul.
Karena cara membunyikan instrument itu dengan dipukul-pukul. Barang
yang sering dipukul namanya gembelan. Kata gembelan ini bergeser atau
berkembang menjadi gamelan. Mungkin juga karena cara membuat gamelan
itu adalah perunggu yang dipukul-pukul atau dipalu atau digembel, maka
benda yang sering dibuat dengan cara digembel namanya gamelan, benda
yang sering dikumpul-kumpulkan namanya kempelan dan seterusnya
gembelan berkembang menjadi gamelan. Dengan kata lain gamelan adalah
suatu benda hasil dari benda itu digembel-gembel atau dipukul-pukul
(Trimanto, 1984).
Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan
dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Kita harus bangga memiliki alat
kesenian tradisional gamelan. Keagungan gamelan sudah jelas ada.
Duniapun mengakui bahwa gamelan adalah alat musik tradisional timur
yang dapat mengimbangi alat musik barat yang serba besar. Di dalam
suasana bagaimanapun suara gamelan mendapat tempat di hati
masyarakat.
Gamelan dapat digunakan untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang
yang biasa berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa kesetiakawanan
tumbuh, tegur sapa halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa
seseorang menjadi sehalus gendhing-gendhing (Trimanto, 1984).
(Diambil dari buku Seni Karawitan Jawa, Dr. Purwati, M.Hum dan Drs.
Afendy Widayat, 2006)
 

Jenis Musik Karawitan
 

Degung yang dikenal oleh kalangan masyarakat luas khususnya daerah Jawa
Barat, musik tradisional yang mempunyai nilai musik berliku dengan iringan
kendang sunda dan suling musik degung ini biasanya di tampilkan dalam
acara pernikahan atau acara yang memiliki khusus musik tradisional musik
degung juga terlahir dari daerah Jawa Barat yang mempunyai unsur filosofis
dan simbolisme tentang kehidupan jaman sebelum masehi dan lirik syairnya
memiliki nada yang lembut dan halus biasa yang menyanyikan lagu degung
wanika yang setengah baya, musik degung dalam juga termasuk musik
kontemporer karena dalam gaya karakteristik musik degung berbagai variasi
yang digunakan di dalam notasinya dan instrumennya, ada pula yang
menyebutkan musik degung musik yang bernada pentatonik.
Kacapi suling musik yang terlahir dari musik karawitan yang mempunyai
khas karakteristik musiknya yaitu hanya memainkan alat musiknya 2 alat
yaitu kacapi suling dan musik tersebut juga tidak memiliki syair vocal
hanyalah musik instrumental yang bergumandang suling dan kacapi.
Ngawih adalah sebutan dari vocal di dalam musik karawitan ngawih tersebut
mengandung suara yang khas dan suara yang bergumandang halus dan
lembut dan menjiwai perasaan.
 

Musisi Musik Karawitan
 

Aki Dadan merupakan salah seorang putra Mang Endu (Endu Sulaeman
Apandi), Seniman Cianjuran. Sebagaimana silsilah para leluhur, Mang Endu
pernah menjadi murid R. Ece Madjid. Tokoh Cianjuran jaman dahulu kala
yang sangat dekat dengan Dalem R. A.A Wiranatakusumah. (Bahkan sempat
diboyong ke Bandung serta dinikahkan dengan R. Siti Munigar). Sesuai
dengan keterangan Aki Dadan pada suatu ketika, bahwa bibit buit Si Aki
pada dasarnya merupakan para abdi Dalem Cianjur dahulu dalam bidang
Seni Budaya. Jadi Si Aki sendiri lahir dan sejak masa kanak-kanak
dibesarkan dalam lingkungan tokoh-tokoh Mamaos Cianjuran. Ia mengaku
banyak berguru dan mendalami Seni Mamaos Cianjuran dari Endu Sulaeman
Apandi, ayahnya sendiri serta Ibu Anah Ruhanah. Sedangkan pendidikannya
sendiri, sebenarnya lulusan STM. Namun tidak pernah dimanfaatkan, karena
kecintaannya terhadap Seni Mamaos Cianjuran. Mulai aktif menyebarkan
Mamaos Cianjuran, sejak usia 16 tahun. Terus berkelana memenuhi
undangan untuk manggung, dihampir seluruh pelosok Jawa Barat, DKI,
Banten bahkan hingga ke wilayah Sumatera dan Bali. Sedangkan
pengalaman yang paling berkesan menurutnya, ketika ia terpilih menjadi
salah seorang duta kesenian melanglang ke Jepang serta ke Roma, Italy
pada tahun 1970.
 

Alat-Alat Musik Karawitan
 

Gendang atau dalam bahasa Sunda disebut “Kendang” merupakan salah
satu alat musik tradisional daerah Sunda, Jawa Barat. Alat musik kendang
ini terbuat dari bahan kayu nangka atau mangga, namun ada juga yang
menggunakan batang pohon kelapa. Kendang mempunyai dua ujung yang
berbeda lebar diameternya. Ukuran diameter ujung yang satu lebih besar
dari ujung yang lain. Kedua ujung itu ditutup oleh bahan kulit yang biasanya
terbuat dari kulit sapi, kerbau atau kambing. Karena permukaan samping
kendang itu halus, maka kendang biasanya dililit dengan tali yang di rajut
sedemikian rupa, adapun fungsi tali tersebut berguna agar kendang tidak
mudah bergeser ketika dimainkan. Sebagai penunjang bisanya juga di
letakan pada sanggahan dari kayu untuk mengatur posisi tinggi rendahnya
kendang yang disesuaikan dengan kenyamanan si penabuh. Ukuran
kendang sendiri ada dua jenis, yaitu kendang besar dan kendang kecil atau
disebut kulantir. Fungsi dari kendang utamanya adalah untuk mengatur
ritme atau tempo dari permainan musik sunda.
Kacapi salah satu alat musik Sunda yang digunakan dengan cara di petik
dan memiliki notasi da mi na ti la da dan bentuk panjang menggunakan
senar seperti halnya gitar namun kacapi ini sering digunakan untuk
karawitan dan memiliki senar yang terbilang 23 senar, macam-macam
kacapi beraneka ragam kacapi indung, kacapi pelog dan kacapi pupuh.
Suling alat musik tiup yang menggunakan notasi da mi na ti la da sama
halnya dengan kacapi namun berbeda penggunaan permainannya suling
tersebut bisa membantu dalam menyamakan nada kacapi bila mana kacapi
tersebut fals (tidak enak di dengarnya) suling ini mempunya lubang nada 6
dan berbagai macam suling yang digunakan.
Perkembangan Musik Karawitan
Berdasarkan sejarah, keberadaan gamelan sudah berabad-abad lamanya.
Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan-tulisan, maupun prasasti-prasasti di
dinding candi yang ditemukan. Perkembangan selanjutnya dari masa ke
masa mengalami perubahan, baik bentuk, jenis, maupun fungsinya. Dari
yang sangat sederhana, menjadi sederhana, kemudian menjadi lebih
komplit. Bukti tertua mengenai keberadaan alat-alat musik tradisional Jawa
dan berbagai macam bentuk permainannya dapat ditemukan pada piagam
Tuk Mas yang bertuliskan huruf Pallawa. Kesederhanaan bentuk, jenis dan
fungsinya tentu berkaitan erat dengan pola hidup masyarakat pada waktu
itu. Pada piagam tersebut terdapat gambar sangka-kala, yaitu semacam
terompet kuno yang digunakan untuk perlengkapan upacara keagamaan
(Palgunadi, 2002:7).
Kehidupan seni karawitan sejauh ini sudah mengalami perjalanan sejarah
yang panjang bersamaan dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar,
seperti Majapahit, dan Mataram. Di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan
tersebut, gamelan (seni karawitan) mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Sehingga menarik para ilmuwan asing untuk mempelajari dan
mendokumentasikan. Banyak penemuan-penemuan hasil penelitian yang
dilakukan oleh ilmuwan asing. Sebagian hasil penemuan tersebut
selanjutnya digunakan untuk mempelajari seni karawitan.
Perkembangan yang terjadi pada dunia seni karawitan menggambarkan
bahwa seni karawitan merupakan suatu produk kebudayaan yang selalu
ingin berkembang, menyesuaikan dengan kondisi jaman. Hal ini sesuai
dengan kodratnya, bahwa seni karawitan sebagaimana cabang seni
pertunjukan tradisi lainnya dikategorikan dalam jenis senikomunal, yaitu
seni yang lahir dari, oleh, dan untuk masyarakat. keberadaan dan
perkembangannya tergantung pada kondisi masyarakat. Dalam konteks
yang lain dapat dikategorikan dalam bentuk seni yang patronage, yaitu seni
jenis yang mengabdi kepada sesuatu atau seseorang yang dianggap sebagai
payungnya. Sehingga keberadaan dan perkembangannya tergantung pada
penguasa.
Pada jaman kerajaan perkembangan seni karawitan berjalan pesat. Peran
Raja sebagai penguasa tunggal sangat menentukan hidup dan matinya suatu
bentuk seni. Seperti yang diutarakan dalam puisi abad ke-14 kakawin
Negarakertagama. Kerajaan Majapahit mempunyai lembaga khusus yang
bertanggung jawab mengawasi program seni pertunjukan (Sumarsam,
2003:19). Begitu pentingnya seni pertunjukan (karawitan) sebagai suatu
pertanda kekuasaan raja adalah keterbilatan gamelan dan teater pada
upacara-upacara atau pesta-ria kraton (Sumarsam, 2003:11).
Perkembangan seni karawitan berlanjut dengan munculnya Kerajaan
Mataram. Pada jaman ini dianggap sebagai tonggak seni karawitan,
terutama untuk gaya Yogyakarta dan Surakarta. Tidak hanya penambahan
jenis-jenis gamelan saja, melainkan fungsi seni karawitanpun mengalami
perkembangan. Disamping sebagai sarana upacara, seni karawitan juga
berfungsi sebagai hiburan. Dahulu seni karawitan produk kraton hanya
dinikmati di lingkungan kraton. Selanjutnya karena keterbukaan kraton dan
palilah Dalem, seni karawitan produk kraton sudah berbaur dengan
masyarakat pendukungnya.
Dari realita tersebut terlihat begitu kuatnya peran penguasa dalam
menentukan keberadaan suatu bentuk kesenian. “Sabda pandhito ratu”
merupakan kebiasaan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan pada saat
itu. Eksistensi dan perkembangan kesenian di masyarakat, keadaannya,
penciptaannya, pelaksanaannya tergantung pada kegiatan para pendukung,
dan adat kebiasaan yang berlaku. Popularitas suatu

www.kemlu.go.id/.../sejarah%20karawitan.

0 komentar:

Posting Komentar