Nilai Estetis Kethoprak Gaul “ Laire Reog ponorogo”



Seperti yang kita ketahui bahwa kethoprak adalah sebuah tontonan yang multifungsi dan sebagai hiburan tersendiri bagi pecinta dan penikmatnya. Meskipun kethoprak ini jarang disiarkan di media televisi maupun di media massa lainnya, tetapi cita rasa dan nilai keestetisannya tidak pernah luntur dan hilang begitu saja.
 

Kethoprak bukan hanya sebagai hiburan belaka, tetapi juga terselip sebuah keestetisan jawa yang mengandung cita rasa seni yang istimewa. Estetika sendiri adalah sebuah wawasan keindahan yang dapat dimiliki oleh siapa saja, sedangkan citarasa adalah lukisan jiwa yang terdalam yang termuat dalam nilai-nilai keindahan tersebut. Estetika dan citarasa erat kaitannya dengan bagaimana sebuah pementasan kethoprak itu dikemas dan disajikan, ibarat sebuah makanan. Keestetisan kethoprak ini bisa kita lihat dari segi bahasa, alur cerita maupun properti yang mana sebagai pendukung dalam sebuah pementasan.
 

Seperti halnya pementasan kethoprak yang diselenggarakan pada Tanggal 17-18 Desember oleh Universitas Negeri Semarang yang bertemakan “Kethoprak Gaul”, yang mengangkat sebuah cerita klasik yang berjudul “Laire Reog Ponorogo”. Lakon ini berkisah tentang dimana dahulu kala terdapat seorang raja di Kediri mempunyai putri yang amat sangat cantik. Yang bernama Dewi Ragil kuning. Banyak pangeran ingin menjadi suaminya, salah satunya adalah pangeran dari ponorogo yang bernama Raden Klono Sewandono. Oleh karena itu Dewi Ragil Kuning menjadi bingung akhirnya Dewi Ragil Kuning mengadakan sayembara. Yaitu menunjukan pementasan yang belum pernah dilihat oleh Dewi Ragil Kuning dan kedua orang tuanya. Disayembara itu ada 3 hal yang harus dipenuhi yaitu :
1. 1000 pasukan berkuda lengkap dengan penunggangnya
2. Arak –arakan yang memakai baju hitam dan kelihatan sangar
3. Dua kepala hewan dalam satu tubuh.
 

Semuapun berlomba-lomba untuk memenangkan sayembara itu termasuk Raden Klono Sewandono. Raden Klono Sewandonopun sudah memenuhi semua  syarat yang telah diberikan oleh Dewi Ragil. Dan berangkatlah Raden Klono sewandono beserta rombongannya ke Kediri dengan 3 syarat yang telah dipenuhi. Sesampainya disana pertunjukan dipertontonkan kepada Dewi Ragil Kuning dan kedua orang tuanya. Akan tetapi orang tua dari Dewi Ragil tidak rela jika putrinya diperistri oleh Raden Klono Sewandono dan diajak pergilah putrinya tersebut dari Kediri. Dengan rasa murka dan amarah Raden Klono Sewandonopun langsung seketika membuat kota Kediri menjadi karang abang. Itulah sedikit cuplikan cerita pada pementasan kethoprak ini. Banyak sekali nilai-nilai estetis yang dapat kita tilik dari pementasan ketropak ini, mulai dari bahasa maupun dari segi pementasan.
 

Nilai-nilai keestetisan itupun mulai tampak ketika seorang narator membacakan sinopsis cerita pada saat lampu yang begitu terang dan diganti dengan lampu yang remang-remang ala warung kucingan, yang mana dibarengi dengan hentakan alunan gamelan dengan tempo yang sangat cepat dan suara terompet ala barongan yang sangat menyayat telinga para penonton. Tepuk tangan meriah penonton dan suara riuh terdengar melingkupi ruang pementasan tersebut. Tidak berselang lama keluarlah penari yang meliak-liuk ibarat orang yang tak bertulang, dengan santainya menari di atas panggung, tidak ada henti-hentinya para penonton bersorak-sorak ramai menikmati pementasan kethoprak tersebut.
 

Tidak berhenti disitu saja, keestetisan itupun juga nampak pada bahasa yang dipergunakan oleh para tokoh. Didalam bahasa tersebut juga terselip sebuah keestetisan jawa, kita bisa melihat dan mencermatinya pada saat dialog antar tokoh itu berlangsung, misalnya pada dialog seperti ini, ngono ya ngono nanging aja ngono, senajan ora seneng wedokan tapi bakalan tak gawe pante-pantesan, yen ora tahan tak dadekake tahanan, alon-alon sing penting kelon, ajining raga tanpa busana, sapa sing ngerti wong sing mandraguna yaiku pakdhe manto, bakal tak boyong lan tak pondhong. . Dari situlah kita bisa melihat nilai-nilai keestetisan yang terkandung didalamnya yaitu dalam permainan bunyi bahasa, dari permainan bunyi bahasa (o, n, a, ng) dan yang lainnya. Permainan bunyi bahasa ini sering sekali dipergunakan dalam pertunjukan kethoprak, hal ini dilakukan supaya dapat membentuk sebuah kata-kata yang indah dan memperkaya suatu bahasa.
 

Bahasa yang digunakan juga mengandung tembung-tembung khas yang ada dalam kamus bahasa jawa, misalnya pada dialog seperti ini, Mukit (metu ing rumah sakit), Mutmainnah (seneng ngemut barang sing ora genah), Rini (rintihan nikmat). Itu adalah sebagian contoh dari tembung garba, dimana tembung garba sendiri adalah tembung yang disingkat dan mempunyai makna. Dalam pementasan kethoprak ini juga, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang komunikatif dan interaktif, memudahkan para penonton untuk mencerna apa yang dilontarkan oleh para tokoh dalam pementasan kethoprak tersebut, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa keseharian dalam kehidupan.
 

Menarik, Menggelitik, Mewah dan Meriah
 

Pementasan kethoprak yang diselenggarakan pada Tanggal 17-18 Desember ini mempunyai daya tarik dan magnet tersendiri bagi para penonton. Berbagai kalanganpun ikut hadir dan memeriahkannya, mulai dari mahasiswa-mahasiswi, dosen bahkan sampai anak-anak ikut menikmatinya. Bagaimana tidak, daya tarik yang ada pada pementasan kethoprak yang mengangkat cerita mengenai “Laire Reog Ponorogo” adalah sajian yang ditawarkannya, nilai estetis dan unsur seni ini sangat kental dan terlihat pada unsur reognya, karena didalamnya penonton disuguhkan berbagai macam tarian, mulai dari tari jatilan, pujangganong sampai tari reog ponorogo.
 

Tidak berhenti disitu juga, para penontonpun dibuat tercengang dan heboh tatkala melihat tingkah konyol dan ganyeng oleh Singo Barong, Singa Kumbang dan kedua ajudannya. Dimana empat tokoh tersebut membuat seisi ruangan menjadi meriah, sorak-sorai penontonpun ikut memadatinya dan penuh dengan tawa pada saat mereka menampilkan tingkah konyol mereka. Meskipun telah keluar dari konteks cerita, tapi disitulah yang membuat daya tarik tersendiri bagi penikmatnya.
 

Kethoprak yang mengangkat cerita “Laire Reog Ponorogo” ini sangatlah tahu dalam segi hal memikat penonton yang ada, yaitu dengan cara mengemas sebuah cerita itu menjadi menarik, menggelitik, mewah dan meriah.

0 komentar:

Posting Komentar