0

Terpendam dalam Diam



Langit-langit kamar itu kubiarkan tersinari lampu temaram. Tampak suram. Tapi aku tak merasa terganggu atau pun takut dengan suasana semacam itu. Seakan ketakutanku telah menguap bersamaan dengan perasaan yang aku rasakan.

Asap mengepul bebas keluar dari secangkir kopiku. Kuhirup pelan menikmati aroma taste capuccino yang merasuki hidungku. Sebegitu mudahnya aku terhanyut oleh itu. Tapi... sepertinya tidak untuk fikiran dan hatiku terayu.

Gelap menyungkup langit bagai tirai raksasa. Perlahan rintik hujan berguguran. Menciptakan dentingan-dentingan pelan penuh dengan keharmonisan. Aku masih termangu dalam bisu. Mengaduk-aduk secangkir kopi tanpa alasan, itulah yang bisa aku lakukan. Hati kecilku berbisik bahwa masih ada sedikit rasa yang bergejolak di balik dada. Tak sadar, kesiur angin timur perlahan menghempaskanku pada serpihan-serpihan kenangan masa lalu. Ya, masa lalu yang sungguh mengiris kalbu.

Aku menahan diri dari gejolak yang mulai tak terkendali.
Namamu. Ya namamu yang kemudian kutemui di catatan usang sebuah lembar Diary. Aku membaca perlahan, mengeja sejarah yang terlewatkan dengan takjub, ketidakmungkinan menjadi kemungkinan. Carut marut. Kuyakini bahwa kehadiranmu memang seharusnya sejak dulu. Tidak sekadar sebagai kawan.

Bagaiman mungkin ? pada akhirnya aku mencintaimu sedalam ini ? cinta yang tak akan pernah penaku sanggup tuliskan. Tak sanggup pula menggambarkan bagaimana ada sejuta pengharapan tentang sebuah kehidupan baru yang akan ku lalui. Semuanya terjadi bagaikan misteri yang ku baca waktu itu sebagai masa depan yang luar biasa membahagiakan.

Dulu, aku diam-diam menaruh rasa kepadamu. Dengan semena-mena kubiarkan kau untuk mengukir namamu di sudut hatiku. Pada saat itulah rasa candu akan semuanya tentangmu mengisi rongga dadaku. Di setiap lembaran-lembaran hariku selalu kuselipkan dan kubingkai semuanya tentangmu. Namun sayang, pada saat itu aku masih dalam taraf sebagai pelukis yang sangat buruk. Karena aku tak sanggup untuk menggoreskan kuas dan kanvas lukisku untuk menaangkap semua objek keindahanmu.

Waktu terus berlalu. Sudah sejak lama aku berkecimpung dalam warna keindahanmu. Akan tetapi, entah kenapa mulutku terbungkam dalam. Aku tidak mampu menyampaikan secuil rasa yang bersarang di dada kepadanya. Lidahku kelu untuk menguntaikan kata angker I Love You.

“Hahaha... pecundang ...!!” Hatiku mencerca.

Ya, aku memanglah pecundang. Yang mengaku kalah sebelum berperang. Tapi, harapku cukup satu, jadilah peramu hariku dan objek lukisku.

*****

Seakan mataku tertutup
Ku ingin cinta ini dapat kau sambut
Harapkan perasaan ini kau tahu
Sungguh ku ingin kau jadi milikku

Bersamaan dengan lagu Bondan Fade 2 Black yang mengalun lirih, kuteguk secangkir kopi itu. Kusesap pelan. Berharap dari sanalah aku mendapatkan ruang kebebasan. Kulihat jam yang menggantung bebas di dinding. Sudah menunjukan pukul 02 : 15. Entah kenapa aku masih enggan untuk menutup mata. Membiarkannya untuk beristirahat sejenak setelah seharian penuh mengamati keindahanmu melewati jejak-jejakmu yang terpajang di dunia maya.

Rintik hujan mulai reda. Berganti dengan bulan sabit yang tampak ragu dan malu-malu untuk menyunggingkan seulas senyuman. Bintang berkedip-kedip mesra di antara keagungan sinar rembulan. Di sini, aku masih terdiam. ku biarkan semuanya berperang hebat di medan hatiku. Tapi........... semakin ku diam semaikin ku pendam semakin pula terlukis dengan jelas caramu tersenyum, menatapku, berbicara padaku, dan berjalan di sampingku, dengan caramu seperti itu telah berhasil membuat segala apa yang kurasakan menjadi berantakan.

“Kau di sana, duduk tidak jauh dariku, membelakangiku. Kau di sana, tertawa dan bernyanyi dengan lepasnya. Seharusnya kau mengedarkan pandanganmu. Seharusnya kau tahu aku di sini, di belakangmu. Seharusnya kau tahu bagaimana perasaanku padamu.” Celoteh hati.

Ya.........., walaupun aku tidak bisa menjamin kebahagiaan, tapi aku punya cinta untuk kuberikan. Dan dengan cinta itu, aku berjanji akan menjadi laki-laki yang kamu butuhkan.

*****

Tak terasa mataku mengatup pelan. Jeratan benang merah bernamakan cinta yang terpendam itu benar-benar telah mengikatku dalam jurang kenangan.

Cinta ini derita, ku harap kau juga merasa
Apa yang kurasa tanpa banyak tanda tanya
Rasa ini fakta, selektif bukan posesif
Ku tak ingin berdusta, ku cinta kau Bunga

Dengan lagu itu, kini telah tertumpahkan semua rasa yang bersarang lama di dada. Dan dengan lagu itu juga, kini aku telah siap untuk menyongsong fajar dengan mata dan hati terbuka. Aku telah berhasil menembus pintu yang berisi genangan-genangan kenangan berkat uluran tangan gaib yang menolongku. Apalagi kalau bukan tangan-tangan gaib cinta. Yaaaap.....!!

0

Aku & Hujan



aku benci hujan, tahu kenapa ? karena dia beraninya keroyokan. tapi disisi lain, aku menyukai hujan. tahu kenapa ? karena dialah yang menyadarkanku dalam keheningan malam. lamunan itu timbul kembali dari masa hibernasinya yang teramat panjang.

dan pada akhirnya aku menyukai hujan. ketika terlukis pelangi setelah semuanya berangsur terang. hujan pun rela menjadi penyeimbang rasa gundah dan bahagia di setiap sela waktuku bersamamu, tapi itu dulu.

kini hingga nanti, aku sudi menjadi penikmat hujan. tahu kenapa ? karena hujan bagiku adalah pengantar rindu. tapi terkadang, hujan terlalu banyak mengirimkan tetesan yang memukul dinding masa lalu yang mengingatkanku akan semuanya tentangmu yang (pernah) membuatku pilu.

ingin ku menangis rindu ketika teringat seberkas kenangan masa lalu. kemudian aku mencoba untuk menerka, apakah hujan dapat melarutkan rasa gundah yang bersarang lama di dada ? ah, tapi sayang. hujan terlalu malas untuk berbalas sapa. dan kini, kumulai kembali untuk menjadikan diriku sebagai penikmat hujan. karena hujan dapat membantuku untuk menyamarkan air mata ! aku benci kepalsuan. tapi aku harus tetap tesenyum meskipun duka telah menjarum di hatiku sejak lama.

bagiku, romantis bukan ketika menatap hujan yang menitik dalam gerak lambat. tapi merekam senyum yang pernah kau buat dengan pahatan lesung pipi yang mebuatku tersengat. entah kenapa hujan selalu mengingatkanku pada kenangan waktu itu. bersama kamu.............???

hujan selalu bercerita bersamaku dalam kabut jendela dan kutuliskan namamu di setiap sudut dinding hatiku. karena ku ingin kau tahu, kau telah berhasil membuatku menelan rasa candu akan semuanya tentangmu.

# Hujan perajut angan menjadi sebuah kenyataan...!!

0

Titik Akhir


11 Mei 2015

Aku tersungkur dalam getir yang tak pernah terbayangkan sedikit pun di benakku. Dalam beberapa menit yang lalu, aku harus melihat kenyataan pahit yang meluluh lantahkan hatiku. Kelam kabut kehancuran mengikuti, gelap menutup rapat hati. perih luka berbondong-bondong menampar jiwaku. Rasa amarah telah menguasai, jiwa sudah tak mampu untuk merayunya kembali.

Luka yang kurasakan ini teramat dalam. Perasaan itu selalu menyelinap masuk untuk membuatku semakin sakit. Entah di mana kini jiwaku berada, langit berbintang di atas sana tak menunjukkan. Semuanya semakin melambat, menghempaskanku hingga logika tak berdaya. Ya, aku masih tertatih dalam gelap.

Pernahkah kau tenggelam ke dalam air yang dalam di mana kegelapan menyelimutimu ? Tak ada satu pun titik cahaya bagimu untuk menunjukkan arah. Kau hanya sendiri bersama sepi. Kau hanya terus mencoba untuk menggapai dalam kosong. Kau tenggelam tanpa bisa mencapai permukaan dan tubuhmu melayang terbawa arus, semakin lama semakin dalam. Dan kau bersemayam.

“Sudahlah. Jangan difikirkan.” Ucap seseorang yang berada di sebelahku. Ia menepuk pundakku
dengan pelan. Tapi aku masih diam. Seakan rona ceria telah terhapus dalam kamus hidupku. Ribuan mendung telah menutup hatiku. Terhujani oleh rasa perih, pedih, sakit, dan semuanya tercampur aduk membentuk gumpalan-gumpalan besar yang menyumbat aura ceria untuk keluar dari persembunyiannya.

“Berani mencinta, ya, konsekuensinya kamu harus berani terluka.”

“Iya, aku tahu itu.” Akhirnya aku bisa membuka mulutku juga, meskipun hanya sesingkat angin berlalu.

“Lintang....” Panggil seseorang. “Wanita di dunia ini tidak hanya dia saja. masih banyak kok di luar sana wanita yang lebih baik darinya.” Ia menggenggam erat pundakku. Seolah ia tak tega melihat sahabat sejatinya terpuruk setelah mendapati kenyataan terpahit dalam hidupnya. Ya, melihat orang yang teramat ia cinta telah bergandengan tangan dengan sosok teman yang paling ia kenal.

Ia menghela nafas dan menatap mataku dengan penuh. “Jika kamu terus-menerus memikirkannya, itu hanyalah pekerjaan loser..!!”

Aku menelan ludah sekali. “Rian, ngomong itu gampang.” Jawabku ketus. “Ia sudah aku anggap sebagian dari hidupku, dan itu sangat sulit untuk melupakannya.”

“Oke, oke. I know.” Ia melepaskan genggamannya pada pundakku. Membiarkan kedua tangannya teracung layaknya seorang pencuri yang tertangkap basah oleh polisi.

“Sulit memang melupakan sesuatu yang telah menyatu pada diri kita. Tapi apakah kamu tahu ?” Ia menoleh ke arahku yang masih tertunduk lesu.”Bukankah cinta sejati itu, rela melepaskan orang yang kita sayangi pergi meninggalkan kita, membiarkannya merasa bahagia dengan orang yang ia suka.”

Aku terhenyak.

Apakah cinta sejati memang seperti itu ? Sungguh tidak adil !! Ironis. Jika cinta sejati memang seperti itu, apakah rasa sakitnya seperti ini ?

Malam semakin kelam. Langit berbintang seolah tak lagi bersinar terang. Aku meneguk sekali secangkir kopi panas. Akan tetapi rasa panas itu tak aku pedulikan, karena rasa panas kopi itu masih lebih panas dengan apa yang aku rasakan. Sejenak aku menghisap sebatang rokok yang entah untuk keberapa kali aku menghisapnya. Kepulan asapnya seakan hanya berputar-putar menyelubungi tubuhku.

Aku sudah tak bisa berfikir jernih. Hatiku hancur dan hidupku berantakan. Kejadian tadi masih saja menghantuiku. Masih terekam sangat jelas dalam bayangku.

“Ya, begitulah Lintang. Kadangkala keputusan wanita itu sulit dimengerti. Seperti wasit-wasit pemimpin jalannya pertandingan sepak bola di negeri ini.”
Aku tersenyum. Tipis.

*****


0

Ketika Senja Melukis Luka



Senja telah mengukir kejayaannya di ufuk barat. Di antara merekahnya warna mega yang menyiratkan cahaya kekuning-kuningan. Renai hujan di pucuk-pucuk rumput memberikan pancaran sinar serupa pelangi yang bergemerlap indah. 

Semburat senja di danau telah hampir menghilang dari pandangan saat ini. debur air pelan mengiringi matahari yang beranjak turun ke peraduannya. Diiringi debur air yang mendayu-dayu, warna senja mulai memudar dan perlahan berganti fase menuju gelapnya malam. Semilir angin yang tadi terasa hangat perlahan-lahan pun berubah menjadi lebih dingin.

Di tempat itu beberapa saat yang lalu, wanita bermata cokelat bening tengah terdiam terpaku menatap senja. Senja yang menemani kesepiannya di tanah yang menyimpan sejuta cerita baginya. Di mana-mana senja seharusnya sama saja, namun senja baginya hanyalah menyimpan luka. Akan tetapi juga sebuah kerinduan. Kerinduan yang menyiksa dirinya. Dia tahu kepada siapa ia merindu. Tapi dia tidak bisa memeluk raga dari orang yang dicintainya itu. Begitu menyiksa memang. Dan terkadang membuat hatinya menjadi bergejolak dalam keinginan yang terpendam.
Wanita itu sesungguhnya selalu bertanya-tanya, mengapa ia merasakan luka tiap kali melihat senja. Cerita itu telah terpendam di dadanya begitu lama hingga melahirkan kerinduan yang aneh baginya. Senja yang mengalir indah juga mengalirkan oase kesedihan yang seperti berpuisi di dadanya.

Rindu seharusnya membuatku tertawa
Namun rindu itu hanya menitipkan luka

Terkadang saat jiwanya merindu, maka ia akan duduk lebih lama menatap senja. Dan disaat itu jiwanya akan banyak bercerita. Tentang kerinduan. Tentang harapan. Tentang apa saja yang berkecamuk di balik dadanya.

Wanita itu bernama Kejora. Kejora Anggrelina. Ia berumur dua puluh tahun telah genap ia lalui. Ia adalah seorang wanita yang cantik, berkulit putih dengan rambut yang ia biarkan tergerai panjang. Walaupun ia bertubuh mungil, tapi ia mempunyai paras yang begitu menawan.

Pengalaman masa lalunya yang begitu pahit telah menyeretnya untuk kembali mencumbui senja. Ya, tentang masa lalunya bersama seorang laki-laki yang paling ia cinta, Dilan namanya. Akan tetapi sosok itu telah menghilang untuk selama-lamanya. Dan dia hanya bisa mengais sisa-sisa kenangan yang dulu pernah memberikan kebahagiaan di dalam hidupnya. Masa lalu baginya serupa tali layang-layang yang diulur panjang. Seberapa pun ia terbang, tali itu tak akan membiarkannya untuk terlepas bebas.

Dilan adalah sosok laki-laki yang selama empat tahun terakhir mengisi kekosongan hatinya, mewarnai setiap harinya, dan menjaga setiap langkahnya. Setiap kali senja menyapa, ia selalu bersamanya, berada di sampingnya hanya untuk sekedar menghabiskan waktunya dan melepaskan rasa rindu akan sosok laki-laki yang paling ia cinta itu. Tapi kini semua itu hanyalah menjadi seberkas kenangan masa lalu. Tiap kali ia mengingatnya, entah kenapa ia selalu merasakan rasa sakit yang tak tertahankan. Kerinduan itu bak pisau yang menghujam jantungnya.
Ketika ia menatap senja, ia merasakan seakan jiwanya tengah tengelam dalam fatamorgana seorang laki-laki dan wanita yang sedang berpadu kasih di atas batu besar dan di bawah meredupnya sinar mentari. Terkadang pada saat itulah, setitik air mata pun tiba-tiba mengalir pelan dari sudut-sudut matanya.

“Aku akan selalu berada di sampingmu, di sini.” 

Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di benak Kejora. Ia tak akan pernah lupa dengan janji manis yang telah terucap dari mulut laki-laki yang dicintainya itu. Kebahagiaan empat tahun yang lalu ia rasakan kini telah terenggut dalam sekejap mata karena kecelakaan yang menimpa keduanya pada saat perjalanan mereka ingin menikmati sunset di tepian danau.

Kejadian itu bermula pada saat keduanya mengendarai sebuah motor yang sama. Tiba-tiba dari arah berlawanan terdapat mobil yang melaju sangat kencang menerpa keduanya. Keduanya sampai terpental begitu jauh karena efek tabrakan itu. Dilan yang berada di posisi depan seketika tubuhnya berlumuran darah segar yang mengucur deras dari kepalanya. Sedangkan Kejora yang posisinya di belakang, ia hanya mendapatkan luka yang tidak begitu parah, hanya saja keningnya terbentur oleh bebatuan yang membuatnya hampir tak sadarkan diri.

Pada saat itulah, Kejora merangkak dengan sisa-sisa tenaganya untuk mendekati Dilan yang terkulai lemas di pinggir jalan. Ia menggerak-gerakkan tubuh Dilan dengan keras. Memanggil-manggil namanya berulang-ulang sembari menepuk pelan kedua pipi laki-laki itu. Tapi, tak ada respon sama sekali. Dan dengan reffleks sepontan ia menjerit dengan lantang memanggil nama laki-laki itu dengan kencang. Dan tak terasa tubuhnya tiba-tiba ikut terbaring lemas di samping Dilan. Ia memegang erat tangannya dan kemudian matanya mengatup pelan.

*****
Ketika senja mulai menyapa, ia selalu berada di sana. menikmati setiap kehangatannya, keindahannya. Dengan cara seperti itulah mungkin ia sejenak bisa mengobati rasa rindu yang sering kali menyiksa dirinya.

Saat mentari mulai beranjak turun, semakin berat rasanya ia untuk pergi meninggalkannya. Itu sama saja membiarkan rasa sepi menyelimuti dirinya.

Apakah rasa itu terus menerus menghantuinya ? Ah, mungkin satu saja kata yang tepat untuk memberikan solusi yang terbaik baginya. Ya, move on. Tapi kata-kata itu memang mudah untuk dilafalkan, akan tetapi sulit untuk dilakukan. Biarkanlah ! Biarkanlah itu semua mengalir dan tersimpan di dalam memori otaknya. Dan membiarkannya untuk kembali merajut butiran harapan menjadi suatu paduan kerinduan yang dapat mengobati rasa sakit yang ia rasakan..

0

Terlalu Singkat



Sudah tak lagi terasa menyengat
Atau bahkan mungkin membuatku merasakan hangat

Aku telah tertipu
Oleh derasnya senyum palsu
Yang mengiris setiap lembaran kalbu
Menyeretku dalam jurang hitam yang sangat pilu

Aku tertampar oleh ritme kepalsuan
Membuaiku dalam ilusi kesadaran
Termangu-mangu dalam kesendirian
Terkelupas oleh erotisitas melodi kematian

Canda tawamu telah membiru
Berdebu berselimutkan palsu
Menyingkap dan menelanjangi setiap langkahku
Telah aku cukupkan untuk itu
Membingkai dan merilis setiap canda tawamu
Karena aku tahu
Semua itu hanyalah manifestasi yang semu

Aku akn berlari
Sampai kaki ini menjarum duri
Meskipun senyum itu selalu menjerat dan menghantui


Bukannya aku seorang pengecut
Hanya saja senyummu telah mengecut
Melilit dan merajam rasa takut

Aku tidak peduli !!
Itulah kata yang selama ini aku cari
Aku akan pergi
Dan berjanji tidak akan menyentuh jemarimu lagi

Aku adalah pelukis yang mengilu
Karena terpaku dalam bisu
Yang tak mampu menggoreskan kuasku dan kanvas lukisku
Untuk menangkap semua keindahan auramu

0

Goresan tintaku di album memoriku



Namaku tidak akan pernah sempurna tanpa huruf “Y”
Apakah engkau menyadari perihal yang sepele
Namamu juga tidak akan pernah terdengar manis tanpa huruf “I”
Apakah engkau peduli
percaya atau tidak, iya atau bukan
itu terserah kalian
karna aku bukanlah tuhan
yang membuat aturan permainan

Andaikan engkau tahu ?
Aku ingin engkau selalu ada disampingku
Menemani setiap langkahku
Melintasi rel kehidupan yang penuh dengan lika-liku

Disini aku termenung sendiri
Layaknya burung kenari
Yang tak lagi bisa tersenyum kepada dunia ini
Aku hanya bisa membisu
Terpaku dan menunggu seperti batu

Hatiku terasa mati
Tertancap oleh ribuan duri yang menyelimuti
Karena senyum itu sudah tiada lagi
Seiring berjalannya waktu yang menuntunmu untuk pergi
Menjauh dari kehidupanku yang gelap ini
Ingatkah engkau saat pertama kali kita bertemu ?
Engkau bentangkan sayapmu
Dan terbang tinggi menuju dasar hati kecilku

Ingatkah engkau saat pertama kali teruntai dari bibirmu ?
Sepercik kata-kata manis dari namaku
Yang terpasang lucu
Selembaran kertas yang menempel pada dadaku
Senyum itu selalu mewarnai hariku
Membuat  aku terbangun dari alam bawah sadarku
Dan selalu ingin melihat senyum manis itu

Tapi ingatkah engkau saat membuat hatiku terluka ?
Membuat hidupku menjadi sirna
Dari gemerlapnya dunia
Engkau aduk hidupku menjadi berantakan dan tak kenal aturan

Apakah engkau pernah sadar ?
Aku selalu menyelipkan senyummu dalam hatiku yang paling dasar
Yang selalu terpasang rapi disetiap dinding kamar

Apakah engkau pernah merasa ?
Disetiap untaian kata yang pernah terlontar dari mulut saya ?
Mungkin tidak !!!
Karena aku hanyalah sebuah tunggak
Yang berdiri sendiri
Tertancap pada bumi
Dan dikerubuti semak belukar sunyi dan sepi yang mengitari
Tak pernah aku bisa berlari
Menggapai semua harapan yang pernah terhempit pada hati ini
Yang dulu pernah tertata rapi
Saat engkau hadir dan mengetuk pintu kehidupanku ini

Ternyata selama ini
Hanya senyum palsulah yang engkau beri
Dan engkau selalu bersembunyi
Saat jejak langkah ini mencoba menghampiri
Dan aku mulai sadar diri
Karena aku hanyalah manusia yang tak mengenal arti

0

LIMA KIAT MUDAH MENUANGKAN IDE




agi seorang pemula, menulis adalah sesuatu yang maha sulit. Betapa tidak, ada orang yang punya semangat menulis. Tapi sayang, ketika ingin menorehkan kata pembuka tulisan, tiba-tiba saja fikirannya kelu, akalnya hampa, dan tangannya kaku, tidak tahu dengan kata apa membuka goresan penanya. Ia tak ubahnya seperti seorang pria yang kesulitan mengungkapkan rasa kepada sang kekasih idaman. Lidahnya kelu mengucapkan kata angker ‘I Love U’.
Ada juga yang telah menemukan ide dan gagasan-gagasan yang menunjang, hanya saja fikirannya kacau. Ia tidak menemukan cara menuangkan pesan yang ada. Akhirnya gagasan-gagasan yang ada membeku dalam alam fikir, laksana bahan mentah yang ditinggal begitu saja, tanpa guna. Lalu akhirnya sirna ditelan masa.
Ada juga yang telah berani menggoreskan ide di atas kertas. Tapi sayang. Di saat ia hanyut dalam euporia keindahan dunia tulis, perasaannya lalu lenyap. Ia kehabisan gagasan. Dan tak mampu menangkap lagi ide, pesan, kesan, fakta dan segala argumen yang ada. Ia laksana orang yang sesat di rimba antah berantah, tersembunyi di balik rimbunan dahan-dahan pohon yang lebat, hilang dan tak menemukan jalan keluar.
Dari sederet modus di atas, banyak di antara kita yang serta merta mengklaim bahwa menulis adalah ‘dunia asing’. Ia dunia sepi, dunianya para borju intelektual. Bagaimana tidak, banyak orang yang melihat bahwa tidak semua orang berjodoh dengan dunia menulis. Mereka yang berhasil terjun di ‘dunia asing’ ini, adalah mereka yang jalan hidupnya memang digariskan di dunia ini. Tak ubahnya seperti takdir yang tak dapat berubah lagi. Padahal bukankan takdir selain ada yang tak bisa diganggu gugat, ada pula yang bisa diusahakan? ‘Keterampilan dan kecakapan menulis’ salah satunya.
Banyak kiat yang telah ditawarkan oleh para pemerhati dunia menulis sebagai solusi dari kendala-kendala di atas dan semacamnya. Namun tak ada salahnya jika penulis menawarkan lima kiat—berangkat dari pengalaman pribadi penulis sebagai kuli tinta di TEROBOSAN, dan WawasaN pada tahun 2002, dan pengalaman menulis artikel dan kolom di berbagai buletin Kairo sejak masa itu hingga detik ini—untuk memudahkan para pemula memulai goresan pena, menuangkan ide dan menabur makna.
Kiat pertama, tentukan ‘angle’. Angle adalah sorotan utama penulisan. Ia sudut pandang ide. Dari angle akan lahir tema. Angle laksana makna dan ruh yang menyelimuti ide, lalu tema adalah kata-kata dan jasad yang mengejawantahkan angle. Mengail angle tulisan sangat signifikan, ia tidak dapat ditawar lagi, karena dengan angle, gagasan yang akan kita tumpahkan dalam carikan kertas akan terarah. Dengannya seorang penulis akan fokus, ia akan mampu menarik segala gagasan yang berkaitan dengan tema, laksana magnet yang menarik segala jenis besi ke pusaranya. Hingga akhirnya ia mampu mencipta satu tulisan yang menunjukkan satu kesatuan yang utuh, seperti satu bangunan yang kokoh, megah, apik, setiap bagiannya menguatkan bagian yang lain.
Kiat kedua, buat kerangka tulisan. Kerangka tulisan representasi dari 50 % tulisan. Ia laksana kerangka satu bangunan. Pada dasarnya kerangka tulisan terdiri dari tiga bagian pokok, ‘pendahuluan, isi dan penutup’. Namun sebuah bangun tulisan tidak cukup hanya dengan kerangka pokok. Semakin detail gagasan-gagasan yang menguatkan setiap bagian kerangka pokok, maka seorang penulis akan semakin mudah merangkai kata, menabur makna dalam satu bangun tulisan. Kehadiran kerangka dalam aktivitas menulis sangat menunjang seorang penulis dalam mengolah data dalam alam fikir, sebelum mengejawantahkannya dalam alam tulis.
Kiat ketiga, mengolah data dalam alam fikir. Usaha mengolah data adalah inti dari segala prolog menulis. Dia yang membuat mata fikir seorang penulis amat kasat dalam memetik makna, menangkap ide, dan menuai makna. Ia juga yang mengasah pena seorang penulis hingga goresannya tajam menusuk lubuk hati pembaca.
Segala data dan gagasan yang telah diolah dalam otak dan akal fikiran melalui fasilitas jiwa ini, layaknya sebagai kalam en nafsi (perkataan jiwa) dalam mata kuliah tauhid. Segala sesuatu, kata-kata lisan atau pun tulisan semuanya bersumber dari kalam en-nafsi. Ia laksana mata air. Jika ia kosong, tentu tidak akan mampu memancarkan kata-kata baik lisan maupun tulisan. Jika ia hambar maka kata-kata yang lahir dari lubuknya akan hambar pula.
Namun jika ia indah, manis, padat dan berisi. Kata-kata yang terlahir pun akan manis, padat dan berisi. Dengan mengolah tulisan dalam otak dan fikiran kita. Kita akan semakin faham duduk permasalahan. Kita tidak meraba-raba lagi ide yang akan dituangkan. Tapi ide dan gagasan itu benar-benar telah jelas di dalam fikir, dan telah menjadi hak milik alam fikir kita, sehingga kita mampu menuangkan ide dalam bentuk apapun, dan dalam keadaan apapun tanpa ada hambatan yang signifikan.
Kiat keempat, tulis apa yang terbetik di hati. Setelah data diolah dalam otak, tibalah saat yang menentukan. Detik-detik ini yang terkadang membuat seorang penulis pemula keringat dingin, tak mampu melewati fase transisi dari alam fikir ke alam tulis. Fase ini laksana alam barzakh, ia adalah terminal persinggahan, dan awal dari dunia tulis. Untuk melewati fase ini, kiatnya adalah tulis segala apa yang terlintas di hati, namun tetap fokus pada kalam en nafsi yang telah diolah sebelumnya. Tinggalkan teori untuk sementara waktu. Tinggalkan rasa untuk tampil wah, prima dan perfect (sempurna), karena ini yang akan menghambat klarnya satu tulisan. Nanti setelah bingkai tulisan selesai terbentuk, baru merapikan tulisan lewat teori-teori yang telah dipahami.
Kiat kelima, perkaya kosakata dan wawasan. Pertama, dengan modal kosakata yang melimpah ruah, seorang penulis akan dengan mudah mempergunakan diksi yang tepat. Pesan yang ingin disampaikan penulis juga akan mudah dipahami oleh pembaca, dan yang paling penting pembaca akan hanyut dalam lautan kata yang telah penulis rangkai.
Pembaca tidak akan jenuh, karena penulis tidak kehabisan kata dalam menawarkan ide. Kedua, dengan wawasan yang luas dan mendalam, akan membuat tulisan berbobot, valid, dan dapat dijadikan bahan rujukan. Pembaca pun akan mengakhiri bacaannya dengan decak kagum, seraya menghaturkan terima kasih kepada penulis, karena telah memberi sesuatu yang berarti.
Semoga lima kiat ini, dapat mengatasi segala keluhan dalam menuangkan ide dalam tulisan. Dan sekarang saatnya action. Tangkap segala ide yang terlintas dalam fikir kita. Abadikan dalam bentuk tulisan. Karena usia ada akhirnya, namun tulisan yang berbobot akan hidup sepanjang zaman.
Penulis: Andi M. Ridwan Tahir, Lc. Dipl.

http://dgroundrevolution.blogspot.com/2011/06/lima-kiat-mudah-menuangkan-ide.html