Ketika Senja Melukis Luka



Senja telah mengukir kejayaannya di ufuk barat. Di antara merekahnya warna mega yang menyiratkan cahaya kekuning-kuningan. Renai hujan di pucuk-pucuk rumput memberikan pancaran sinar serupa pelangi yang bergemerlap indah. 

Semburat senja di danau telah hampir menghilang dari pandangan saat ini. debur air pelan mengiringi matahari yang beranjak turun ke peraduannya. Diiringi debur air yang mendayu-dayu, warna senja mulai memudar dan perlahan berganti fase menuju gelapnya malam. Semilir angin yang tadi terasa hangat perlahan-lahan pun berubah menjadi lebih dingin.

Di tempat itu beberapa saat yang lalu, wanita bermata cokelat bening tengah terdiam terpaku menatap senja. Senja yang menemani kesepiannya di tanah yang menyimpan sejuta cerita baginya. Di mana-mana senja seharusnya sama saja, namun senja baginya hanyalah menyimpan luka. Akan tetapi juga sebuah kerinduan. Kerinduan yang menyiksa dirinya. Dia tahu kepada siapa ia merindu. Tapi dia tidak bisa memeluk raga dari orang yang dicintainya itu. Begitu menyiksa memang. Dan terkadang membuat hatinya menjadi bergejolak dalam keinginan yang terpendam.
Wanita itu sesungguhnya selalu bertanya-tanya, mengapa ia merasakan luka tiap kali melihat senja. Cerita itu telah terpendam di dadanya begitu lama hingga melahirkan kerinduan yang aneh baginya. Senja yang mengalir indah juga mengalirkan oase kesedihan yang seperti berpuisi di dadanya.

Rindu seharusnya membuatku tertawa
Namun rindu itu hanya menitipkan luka

Terkadang saat jiwanya merindu, maka ia akan duduk lebih lama menatap senja. Dan disaat itu jiwanya akan banyak bercerita. Tentang kerinduan. Tentang harapan. Tentang apa saja yang berkecamuk di balik dadanya.

Wanita itu bernama Kejora. Kejora Anggrelina. Ia berumur dua puluh tahun telah genap ia lalui. Ia adalah seorang wanita yang cantik, berkulit putih dengan rambut yang ia biarkan tergerai panjang. Walaupun ia bertubuh mungil, tapi ia mempunyai paras yang begitu menawan.

Pengalaman masa lalunya yang begitu pahit telah menyeretnya untuk kembali mencumbui senja. Ya, tentang masa lalunya bersama seorang laki-laki yang paling ia cinta, Dilan namanya. Akan tetapi sosok itu telah menghilang untuk selama-lamanya. Dan dia hanya bisa mengais sisa-sisa kenangan yang dulu pernah memberikan kebahagiaan di dalam hidupnya. Masa lalu baginya serupa tali layang-layang yang diulur panjang. Seberapa pun ia terbang, tali itu tak akan membiarkannya untuk terlepas bebas.

Dilan adalah sosok laki-laki yang selama empat tahun terakhir mengisi kekosongan hatinya, mewarnai setiap harinya, dan menjaga setiap langkahnya. Setiap kali senja menyapa, ia selalu bersamanya, berada di sampingnya hanya untuk sekedar menghabiskan waktunya dan melepaskan rasa rindu akan sosok laki-laki yang paling ia cinta itu. Tapi kini semua itu hanyalah menjadi seberkas kenangan masa lalu. Tiap kali ia mengingatnya, entah kenapa ia selalu merasakan rasa sakit yang tak tertahankan. Kerinduan itu bak pisau yang menghujam jantungnya.
Ketika ia menatap senja, ia merasakan seakan jiwanya tengah tengelam dalam fatamorgana seorang laki-laki dan wanita yang sedang berpadu kasih di atas batu besar dan di bawah meredupnya sinar mentari. Terkadang pada saat itulah, setitik air mata pun tiba-tiba mengalir pelan dari sudut-sudut matanya.

“Aku akan selalu berada di sampingmu, di sini.” 

Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di benak Kejora. Ia tak akan pernah lupa dengan janji manis yang telah terucap dari mulut laki-laki yang dicintainya itu. Kebahagiaan empat tahun yang lalu ia rasakan kini telah terenggut dalam sekejap mata karena kecelakaan yang menimpa keduanya pada saat perjalanan mereka ingin menikmati sunset di tepian danau.

Kejadian itu bermula pada saat keduanya mengendarai sebuah motor yang sama. Tiba-tiba dari arah berlawanan terdapat mobil yang melaju sangat kencang menerpa keduanya. Keduanya sampai terpental begitu jauh karena efek tabrakan itu. Dilan yang berada di posisi depan seketika tubuhnya berlumuran darah segar yang mengucur deras dari kepalanya. Sedangkan Kejora yang posisinya di belakang, ia hanya mendapatkan luka yang tidak begitu parah, hanya saja keningnya terbentur oleh bebatuan yang membuatnya hampir tak sadarkan diri.

Pada saat itulah, Kejora merangkak dengan sisa-sisa tenaganya untuk mendekati Dilan yang terkulai lemas di pinggir jalan. Ia menggerak-gerakkan tubuh Dilan dengan keras. Memanggil-manggil namanya berulang-ulang sembari menepuk pelan kedua pipi laki-laki itu. Tapi, tak ada respon sama sekali. Dan dengan reffleks sepontan ia menjerit dengan lantang memanggil nama laki-laki itu dengan kencang. Dan tak terasa tubuhnya tiba-tiba ikut terbaring lemas di samping Dilan. Ia memegang erat tangannya dan kemudian matanya mengatup pelan.

*****
Ketika senja mulai menyapa, ia selalu berada di sana. menikmati setiap kehangatannya, keindahannya. Dengan cara seperti itulah mungkin ia sejenak bisa mengobati rasa rindu yang sering kali menyiksa dirinya.

Saat mentari mulai beranjak turun, semakin berat rasanya ia untuk pergi meninggalkannya. Itu sama saja membiarkan rasa sepi menyelimuti dirinya.

Apakah rasa itu terus menerus menghantuinya ? Ah, mungkin satu saja kata yang tepat untuk memberikan solusi yang terbaik baginya. Ya, move on. Tapi kata-kata itu memang mudah untuk dilafalkan, akan tetapi sulit untuk dilakukan. Biarkanlah ! Biarkanlah itu semua mengalir dan tersimpan di dalam memori otaknya. Dan membiarkannya untuk kembali merajut butiran harapan menjadi suatu paduan kerinduan yang dapat mengobati rasa sakit yang ia rasakan..

0 komentar:

Posting Komentar