Terpendam dalam Diam



Langit-langit kamar itu kubiarkan tersinari lampu temaram. Tampak suram. Tapi aku tak merasa terganggu atau pun takut dengan suasana semacam itu. Seakan ketakutanku telah menguap bersamaan dengan perasaan yang aku rasakan.

Asap mengepul bebas keluar dari secangkir kopiku. Kuhirup pelan menikmati aroma taste capuccino yang merasuki hidungku. Sebegitu mudahnya aku terhanyut oleh itu. Tapi... sepertinya tidak untuk fikiran dan hatiku terayu.

Gelap menyungkup langit bagai tirai raksasa. Perlahan rintik hujan berguguran. Menciptakan dentingan-dentingan pelan penuh dengan keharmonisan. Aku masih termangu dalam bisu. Mengaduk-aduk secangkir kopi tanpa alasan, itulah yang bisa aku lakukan. Hati kecilku berbisik bahwa masih ada sedikit rasa yang bergejolak di balik dada. Tak sadar, kesiur angin timur perlahan menghempaskanku pada serpihan-serpihan kenangan masa lalu. Ya, masa lalu yang sungguh mengiris kalbu.

Aku menahan diri dari gejolak yang mulai tak terkendali.
Namamu. Ya namamu yang kemudian kutemui di catatan usang sebuah lembar Diary. Aku membaca perlahan, mengeja sejarah yang terlewatkan dengan takjub, ketidakmungkinan menjadi kemungkinan. Carut marut. Kuyakini bahwa kehadiranmu memang seharusnya sejak dulu. Tidak sekadar sebagai kawan.

Bagaiman mungkin ? pada akhirnya aku mencintaimu sedalam ini ? cinta yang tak akan pernah penaku sanggup tuliskan. Tak sanggup pula menggambarkan bagaimana ada sejuta pengharapan tentang sebuah kehidupan baru yang akan ku lalui. Semuanya terjadi bagaikan misteri yang ku baca waktu itu sebagai masa depan yang luar biasa membahagiakan.

Dulu, aku diam-diam menaruh rasa kepadamu. Dengan semena-mena kubiarkan kau untuk mengukir namamu di sudut hatiku. Pada saat itulah rasa candu akan semuanya tentangmu mengisi rongga dadaku. Di setiap lembaran-lembaran hariku selalu kuselipkan dan kubingkai semuanya tentangmu. Namun sayang, pada saat itu aku masih dalam taraf sebagai pelukis yang sangat buruk. Karena aku tak sanggup untuk menggoreskan kuas dan kanvas lukisku untuk menaangkap semua objek keindahanmu.

Waktu terus berlalu. Sudah sejak lama aku berkecimpung dalam warna keindahanmu. Akan tetapi, entah kenapa mulutku terbungkam dalam. Aku tidak mampu menyampaikan secuil rasa yang bersarang di dada kepadanya. Lidahku kelu untuk menguntaikan kata angker I Love You.

“Hahaha... pecundang ...!!” Hatiku mencerca.

Ya, aku memanglah pecundang. Yang mengaku kalah sebelum berperang. Tapi, harapku cukup satu, jadilah peramu hariku dan objek lukisku.

*****

Seakan mataku tertutup
Ku ingin cinta ini dapat kau sambut
Harapkan perasaan ini kau tahu
Sungguh ku ingin kau jadi milikku

Bersamaan dengan lagu Bondan Fade 2 Black yang mengalun lirih, kuteguk secangkir kopi itu. Kusesap pelan. Berharap dari sanalah aku mendapatkan ruang kebebasan. Kulihat jam yang menggantung bebas di dinding. Sudah menunjukan pukul 02 : 15. Entah kenapa aku masih enggan untuk menutup mata. Membiarkannya untuk beristirahat sejenak setelah seharian penuh mengamati keindahanmu melewati jejak-jejakmu yang terpajang di dunia maya.

Rintik hujan mulai reda. Berganti dengan bulan sabit yang tampak ragu dan malu-malu untuk menyunggingkan seulas senyuman. Bintang berkedip-kedip mesra di antara keagungan sinar rembulan. Di sini, aku masih terdiam. ku biarkan semuanya berperang hebat di medan hatiku. Tapi........... semakin ku diam semaikin ku pendam semakin pula terlukis dengan jelas caramu tersenyum, menatapku, berbicara padaku, dan berjalan di sampingku, dengan caramu seperti itu telah berhasil membuat segala apa yang kurasakan menjadi berantakan.

“Kau di sana, duduk tidak jauh dariku, membelakangiku. Kau di sana, tertawa dan bernyanyi dengan lepasnya. Seharusnya kau mengedarkan pandanganmu. Seharusnya kau tahu aku di sini, di belakangmu. Seharusnya kau tahu bagaimana perasaanku padamu.” Celoteh hati.

Ya.........., walaupun aku tidak bisa menjamin kebahagiaan, tapi aku punya cinta untuk kuberikan. Dan dengan cinta itu, aku berjanji akan menjadi laki-laki yang kamu butuhkan.

*****

Tak terasa mataku mengatup pelan. Jeratan benang merah bernamakan cinta yang terpendam itu benar-benar telah mengikatku dalam jurang kenangan.

Cinta ini derita, ku harap kau juga merasa
Apa yang kurasa tanpa banyak tanda tanya
Rasa ini fakta, selektif bukan posesif
Ku tak ingin berdusta, ku cinta kau Bunga

Dengan lagu itu, kini telah tertumpahkan semua rasa yang bersarang lama di dada. Dan dengan lagu itu juga, kini aku telah siap untuk menyongsong fajar dengan mata dan hati terbuka. Aku telah berhasil menembus pintu yang berisi genangan-genangan kenangan berkat uluran tangan gaib yang menolongku. Apalagi kalau bukan tangan-tangan gaib cinta. Yaaaap.....!!

0 komentar:

Posting Komentar