Titik Akhir


11 Mei 2015

Aku tersungkur dalam getir yang tak pernah terbayangkan sedikit pun di benakku. Dalam beberapa menit yang lalu, aku harus melihat kenyataan pahit yang meluluh lantahkan hatiku. Kelam kabut kehancuran mengikuti, gelap menutup rapat hati. perih luka berbondong-bondong menampar jiwaku. Rasa amarah telah menguasai, jiwa sudah tak mampu untuk merayunya kembali.

Luka yang kurasakan ini teramat dalam. Perasaan itu selalu menyelinap masuk untuk membuatku semakin sakit. Entah di mana kini jiwaku berada, langit berbintang di atas sana tak menunjukkan. Semuanya semakin melambat, menghempaskanku hingga logika tak berdaya. Ya, aku masih tertatih dalam gelap.

Pernahkah kau tenggelam ke dalam air yang dalam di mana kegelapan menyelimutimu ? Tak ada satu pun titik cahaya bagimu untuk menunjukkan arah. Kau hanya sendiri bersama sepi. Kau hanya terus mencoba untuk menggapai dalam kosong. Kau tenggelam tanpa bisa mencapai permukaan dan tubuhmu melayang terbawa arus, semakin lama semakin dalam. Dan kau bersemayam.

“Sudahlah. Jangan difikirkan.” Ucap seseorang yang berada di sebelahku. Ia menepuk pundakku
dengan pelan. Tapi aku masih diam. Seakan rona ceria telah terhapus dalam kamus hidupku. Ribuan mendung telah menutup hatiku. Terhujani oleh rasa perih, pedih, sakit, dan semuanya tercampur aduk membentuk gumpalan-gumpalan besar yang menyumbat aura ceria untuk keluar dari persembunyiannya.

“Berani mencinta, ya, konsekuensinya kamu harus berani terluka.”

“Iya, aku tahu itu.” Akhirnya aku bisa membuka mulutku juga, meskipun hanya sesingkat angin berlalu.

“Lintang....” Panggil seseorang. “Wanita di dunia ini tidak hanya dia saja. masih banyak kok di luar sana wanita yang lebih baik darinya.” Ia menggenggam erat pundakku. Seolah ia tak tega melihat sahabat sejatinya terpuruk setelah mendapati kenyataan terpahit dalam hidupnya. Ya, melihat orang yang teramat ia cinta telah bergandengan tangan dengan sosok teman yang paling ia kenal.

Ia menghela nafas dan menatap mataku dengan penuh. “Jika kamu terus-menerus memikirkannya, itu hanyalah pekerjaan loser..!!”

Aku menelan ludah sekali. “Rian, ngomong itu gampang.” Jawabku ketus. “Ia sudah aku anggap sebagian dari hidupku, dan itu sangat sulit untuk melupakannya.”

“Oke, oke. I know.” Ia melepaskan genggamannya pada pundakku. Membiarkan kedua tangannya teracung layaknya seorang pencuri yang tertangkap basah oleh polisi.

“Sulit memang melupakan sesuatu yang telah menyatu pada diri kita. Tapi apakah kamu tahu ?” Ia menoleh ke arahku yang masih tertunduk lesu.”Bukankah cinta sejati itu, rela melepaskan orang yang kita sayangi pergi meninggalkan kita, membiarkannya merasa bahagia dengan orang yang ia suka.”

Aku terhenyak.

Apakah cinta sejati memang seperti itu ? Sungguh tidak adil !! Ironis. Jika cinta sejati memang seperti itu, apakah rasa sakitnya seperti ini ?

Malam semakin kelam. Langit berbintang seolah tak lagi bersinar terang. Aku meneguk sekali secangkir kopi panas. Akan tetapi rasa panas itu tak aku pedulikan, karena rasa panas kopi itu masih lebih panas dengan apa yang aku rasakan. Sejenak aku menghisap sebatang rokok yang entah untuk keberapa kali aku menghisapnya. Kepulan asapnya seakan hanya berputar-putar menyelubungi tubuhku.

Aku sudah tak bisa berfikir jernih. Hatiku hancur dan hidupku berantakan. Kejadian tadi masih saja menghantuiku. Masih terekam sangat jelas dalam bayangku.

“Ya, begitulah Lintang. Kadangkala keputusan wanita itu sulit dimengerti. Seperti wasit-wasit pemimpin jalannya pertandingan sepak bola di negeri ini.”
Aku tersenyum. Tipis.

*****


0 komentar:

Posting Komentar